Tak Berhasil Tahu Diri

Tiba-tiba saja, aku merindukanmu.

Berbulan-bulan sudah sejak kita berpisah, aku aku agaknya bersyukur bahwa hidupku berjalan dengan cukup mudah. Tuhan memberiku teman-teman baru yang luat biasa, tawa dan banyolan baru, bahkan orang baru.

Akan tetapi, hatiku yang sialan ini tidak bisa menampik bahwa ia merasakan rindu.

Jadi, apa kabarmu? Aku dengar kau tengah menjalani ulangan pertengahan semester? Well, semoga berhasil. Aku selalu turut bahagia melihatmu bahagia. Aku yakin kau akan bisa melaluinya dengan mudah. Pria secerdas kamu tentu tidak akan kesulitan mengerjakan soal-soal Fisika sekalipun, 'kan?
Aku masih sering mendengar keadaanmu dari teman-teman yang masih berkomunikasi denganmu. Mengikuti perkembangan hubunganmu dengan kekasihmu--yang terlihat semakin harmonis dan romantis. Aku sejujurnya, ingin mengirimu pesan singkat barang menyapa "Hai," atau sekadar bertanya tentang keadaanmu sekarang. Aku rindu tentang banyak hal manis yang kita lakukan dulu. Tapi, kelihatannya hidupmu malah jauh lebih baik tanpa kehadiranku. Jadi, aku berhenti bersikap tidak tahu diri dengan tidak terus berharap tentang yang tidak seharusnya kuharapkan.

Rasanya ... sudah tidak terlalu sakit. Atau, hatiku sudah terlalu mati rasa untuk merasakan perihnya? Yang jelas, untukmu sudah tak ada lagi air mata. Aku hanya sesekali merindu, membayangkan seandainya kau kembali ke sisiku, berkhayal jika akulah kekasihmu seka--bodoh. Aku harus segera menghentikan fantasiku tentang kehadiranmu. Karena bagaimanapun, kembalimu terlalu mustahil untuk kutunggu. Dan ... kebersamaan kita yang begitu kuingin dan kuharapkan, hanya akan menguap menjadi harapan kosong yang tidak akan pernah mungkin.

Tidak. Akan. Pernah. Mungkin.

Meski, jujur, hidupmu yang tak terlunta-lunta sepertiku, membuatku sangat iri. Kita jatuh bersama, tapi kelihatannya hanya aku yang terluka. Kita berjalan bersama, dan kelihatannya aku yang kelelahan. Ah, biarlah, ini resiko yang harus ditanggung jika aku telak mencintaimu, dan rela berjuang sendirian. Tidak masalah selagi aku masih bisa mencintaimu, semua sudah lebih dari cukup.
Aku kadang menyugesti otakku agar menghentikan seluruh ingatan tentangmu. Mematikan seluruh putaran kenangan perihal kita. Aku ingin agar semua usai. Usai dengan adil, tanpa menyakiti siapapun. Aku ingin tak terus menyalahkan keadaan yang tak berpihak padaku. Aku ingin semua tamat di sini, tanpa embel-embel akan terulang lagi, atau ada yang akan kembali.

Tapi, sesuai kesepakatan, kita harus tetap berjalan. Melangkah tanpa kehadiran satu sama lain. Membiarkan waktu berputar dan bumi berotasi tanpa menyempatkan diri untuk saling memikirkan. Saling melupakan, dan menganggap semua hanya kenangan. Kita, sesuai kesepakatan, harus terus seperti ini. Berjalan sendiri-sendiri.

Sendiri.

Ah, kau bahkan kini tak lagi sendiri.
Gadismu,
Yang terus merindu.

Komentar

What's most