Cinta Terlalu Sulit Untuk Menerima Kehilangan [3]

            Selamat malam, Sayangku Tasha.

            Aku menulis ini di suatu malam yang sepi setelah menyelesaikan beberapa pekerjaanku. Aku hebat, bukan, Tas? Bahkan di saat yang sibuk seperti ini, aku masih punya banyak waktu untuk memikirkanmu. Aku senang, setidaknya Tuhan masih memberiku cara untuk mencintaimu; dengan jarak sejauh ini.

            Beberapa hari terakhir, aku melihat beberapa kado ulang tahun dari teman-temanmu yang belum sempat kau buka ketika dulu kau masih koma. Kado-kado itu kau letakkan di sudut kamarmu, di atas meja kecil tempat kau bisa melakukan banyak hal di sana. Aku menangis. Hal itu cukup sanggup membuatku semakin memaki Tuhan bahwa Dia memanggilmu; adalah keputusan paling terburu-buru. Aku sadar bahwa banyak di dunia ini yang masih membutuhkanmu. Teman-temanmu sering datang ke rumahmu. Nina berbicara banyak pada Tante—ibumu—dan mereka menghentikan pembicaraan saat menangis sembari berpelukan. Indra dan Radit sesekali datang. Mereka berdua biasanya datang saat malam minggu dan ada pertandingan bola di televisi. Ayahmu dan mereka akan menghabiskan malam minggu dengan menonton bola sembari mengemil martabak manis saus cokelat kesukaanmu.

            Minggu lalu kami datang bersama dan menginap. Nina dan ibumu sibuk mengobrol di kamar, aku masih sayup-sayup mendengar mereka berkata, “Kangen Tasha,” di sela percakapan. Aku, Radit, Indra, dan ayahmu seru mengobrolkan perkembangan ekonomi Indonesia yang semakin tidak stabil. Kami sesekali tertawa.

            ...walau tawa itu masih berasa getir.

            Seberhasil apapun kami mencoba mengikhlaskanmu, semua tidak akan berjalan semudah itu. Tawa yang masih berasa getir, senyum yang masih pahit, dan kebahagiaan yang masih semu. Tanpamu, semua tak akan sesederhana itu. Aku rindu kau, Tasha. Apa surga tanpa kami, kau baik-baik saja?

            Kangen ... kangen ... kangen. Semua hal tentang rindu seolah tak puas menghajarku. Betapa dia tidak tahu bahwa kehilanganmu saja cukup membuat jantungku berhenti. Rindu tak pernah bisa mengerti. Ia masih terus datang walau ia tahu dalam kasus kita, tak akan ada sebuah akhir pertemuan. Sekuat apapun rindu mengikat, semua akan sia-sia. Aku mencoba berjalan menuju tujuanku semula. Menapaki langkah demi langkah hanya untuk menyaksikan bahwa kini; jejakmu sudah tidak ada.

            Mungkin, tak ada yang tahu betapa aku membenci perpisahan ini. Tentang kau yang harus pergi bahkan saat semua masih sangat membutuhkanmu. Aku sering marah, memaki keadaan yang tak pernah berpihak pada kita, meradang, walau kutahu sekuat apapun usahaku, kau tak akan pulang. Aku benci tentang lomba lari kita yang dimenangkan oleh takdir. Aku membenci ketika menghadapi bahwa kini, hidup tak sekadar kesedihan, melainkan juga penderitaan. Tidak, Tas, aku tidak pernah membencimu, yang kubenci adalah hidup tanpamu.

            Tak ada yang baik-baik saja setelah kepedihan ini. Semua hanya tinggal tentang harapan dan mimpi-mimpi kosong yang tinggal kenangan. Kita ... seolah tak lagi ada artinya. Yang ada hanya lagu-lagu pedih yang dinyanyikan oleh perpisahan. Sajak-sajak patah hati tak henti tertulis, hanya untuk menambah idealismeku bahwa kehilanganmu, sama seperti kehilangan detak jantungku.

            Tashaku, maaf jika surat ini mengganggu ketenanganmu di Surga. Aku hanya ingin lewat surat ini kau tahu bahwa di sini aku selalu merindukanmu. Kau dapat salam dari kami yang di sini, salam penuh cinta untuk menunjukan bahwa kau masih abadi dan ada.

            Tasha, izinkan sekali lagi aku bilang;


            Aku sangat mencintaimu.
            
            Aga-mu, yang tidak henti merindu sejak kau pergi.

Komentar

What's most