Waktu

Lagi-lagi, gadis itu menitikkan air mata. Air mata yang seolah mengundangku untuk menghapusnya. Aku menjulurkan tanganku menuju pipinya dan menghapusnya dengan lembut.

            “Jangan menangis lagi,” bisikku tepat di telinganya. Aku memeluknya, pelukan yang cukup erat meski mungkin pelukan ini takkan mampu menyaingi pelukan hangat kekasihnya.

            Ia membalas pelukanku. Dilingkarkannya kedua tangannya di leherku. Di sela-sela isakannya, aku mendengarnya membisikan nama kekasihnya yang brengsek itu. Aku mendesah keras, sampai kapan aku harus terus seperti ini?

            Tanpa mendengarkannya, aku semakin mengeratkan pelukku. Ia memulai ceritanya tentang kekasihnya. Tanpa mempedulikan ia mengoceh, aku menghangatkan rengkuhanku.

            “Mas, jangan diam saja,” katanya ketika menyadari aku diam dalam waktu yang cukup lama. “Kamu marah, Mas?” lanjutnya.
  
          Tidak, aku sama sekali tidak marah. Aku hanya tak ingin menjawabnya. Aku hanya ingin ia tetap meracau dalam pelukanku yang semakin erat. Aku yakin, jika aku menjawabnya pun, sepanjang apapun kalimat yang kulontarkan belum tentu membuatnya paham.

            Aku membiarkan kesunyian membuncah di antara kami. Gadis-ku masih menangis, dan kini tanpa mempedulikan diamku. Aku tetap memeluknya, menepuk-nepuk bahunya untuk meyakinkannya bahwa semua akan kembali baik-baik saja. Tentu, seperti biasa seperti itu.

            Meski menyakitkan bagiku, aku belum mampu mengungkapkan padanya apa yang kurasakan. Mungkin nanti, pada pelukan yang entah keberapa, akan kukatakan bahwa aku mencintainya. Saat ini yang perlu kulakukan hanya meyakinkannya bahwa semua akan tetap baik-baik saja meski ini sangat tak adil bagiku.

            Ah, tahu apa aku? Mungkin saja, semua akan terasa adil pada waktunya. Dan mungkin saja waktunya bukan sekarang, tapi aku percaya bahwa waktu itu akan datang.

            Ketika tangisan gadis itu berhenti, aku melepaskan pelukku. Aku lantas berkata, “Aku akan menunggumu, Dik,”

            Dan dia hanya menatapku penuh tanda tanya.

Takkan pernah berhenti untuk selalu percaya
Walau harus menunggu seribu tahun lamanya

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.

Komentar

Posting Komentar

What's most