Kenangan dan Harapan
Aku
masuk ke sebuah restoran ayam kremes di sudut Kota Pekalongan yang biasa kita
kunjungi berdua. Aku memesan persis seperti apa yang kita makan waktu itu,
sepaket ayam kremes, tahu tempe, dan segelas es teh. Aku memakannya sendirian,
dan hal itu yang membuatku merasa kosong. Meski ayam kremes merupakan salah
satu makanan favoritku, aku merasakan hambar dalam tiap kunyahannya. Dan hambar
dan kosong itu, kusebut; tanpamu.
Dulu,
setahun yang lalu, makan ayam kremes bersamamu adalah hal yang paling tak ingin
kusia-siakan. Duduk berhadapan di sudut restoran dan menghabiskan makanan
berdua. Suatu siang, sepulang sekolah, ketika kamu ingin makan ayam kremes; aku
selalu menemanimu. Karena aku tak akan mendapatkan kesempatan berdua dalam
waktu yang lama denganmu selain saat itu. Aku ingat betapa tergila-gilanya kamu
pada sambal hijau yang memang jadi pentolan restoran itu. Aku ingat pada setiap
potongan kecil tiap adegan yang kita jalani dalam drama yang serba entah ini. Meski
sudah setahun lamanya; aku masih sangat ingat.
Rasanya,
kita sangat nyaman dengan ketidakjelasan yang seperti ini. Setahun yang lalu,
kedekatan kita—yang walau serbah entah ini—menjadi hal yang paling tidak ingin
kusia-siakan. Tapi, bisakah manusia sekerdil aku melawan kehendak Tuhan? Tentu aku
tidak sekuat itu. Perpisahan kita, yang begitu tiba-tiba, tanpa kuduga
sebelumnya, terjadi begitu saja. Kita yang awalnya tak terpisahkan, kini jadi
tampak seperti tak saling mengenal. Kita saling berjauhan, bahkan meski tak
tahu apa yang terjadi sebenarnya. Jarak; tercipta begitu saja, dan kita sendiri
yang membuatnya. Kita yang dulu tak terpisahkan, jadi seolah tak punya alasan
untuk kembali berjalan bersama-sama. Kita kembali pada jalan dan takdir kita
masing-masing, tanpa kehadiran satu sama lain.
Rasanya lucu, hubungan yang penuh ketidak jelasan ini masih begitu melekat pada
ingatanku. Bahkan, meski aku tetap tak mengerti mengapa sosokmu, yang dulu begitu akrab kini jadi terasa jauh. Aku tak lagi paham
mengapa semua tetap ada, meski kini tak lagi sama.
Bolehkah
aku bercerita tentang pertemuan kita pertama dulu? Ah, jika kau membaca cerita
ini, tentu kau akan tegas melarangnya karena akan jadi cerita panjang yang
membosankan. Bagaimana kita bertemu, sama sekali tak istimewa. Semua berawal
sejak hari pertama kita masuk sekolah, kamu menubrukku yang membawa tumpukan
buku. Bukan ucapan maaf yang kudapat,
malah cengiran sialan yang membuatku mual. Lalu, akhirnya kamu malah membantuku
membawa setumpuk buku itu ke ruang Tata Usaha. Kamu mengulurkan tanganmu, lalu
menyebutkan nama, dan aku melakukan hal yang serupa. Iya, sesederhana itu. Kesederhanaan
yang akhirnya membawa kita pada satu titik ternyaman yang membuat kita lupa
bahwa status kita hanya teman.
Ah,
benarkah hanya teman? Lalu, apa artinya belaian tanganmu di puncak kepalaku
ketika kita menghabiskan waktu berdua di perpustakaan? Apa artinya jika kita
sering makan ayam kremes berdua? Apa artinya perhatian kecil lewat pesan
singkat yang sering kaukirim? Apa artinya
bisikan sayang yang kau desiskan lewat sambungan telepon di ujung malam? Sudahlah,
abaikan. Aku tak akan bertanya apa maksud dan arti kedekatan kita selama ini,
karena semua sudah lewat dan semua yang terjadi harusnya tak jadi hal yang
perlu kusesali.
Aku
masih ingat tentangmu—meski sudah berjalan setahun lamanya. Caramu menikmati
ayam kremes dan menghabiskan dua piring kecil sambal hijau atau ketika kamu
asik berbagi cerita tentang kejadian-kejadian lucu yang kau alami. Kamu pria
biasa, tak ada yang khas atau istimewa, tapi semua hal itu justru jadi hal yang
membuatku semakin menggilaimu. Sifat humoris yang kaubilang bawaan dari
kecilmu, kesupelanmu yang membuatmu punya banyak teman, hobimu mengoleksi
lagu-lagu penyanyi vokaloid Hatsune Miku, dan kesukaanmu pada ayam kremes.
Waktu kita
berkenalan, kini kutarik pada waktu sekarang. Aku duduk di tempat yang pernah
kita duduki berdua, memakan sepaket ayam kremes kesukaanmu yang tiba-tiba saja
jadi tak senikmat dulu. Tentu saja, sudah setahun lamanya, semua jelas sudah berbeda.
Bukan rasa ayamnya, tapi keadaannya.
Kenangan
akan tetap jadi kenangan meski hanya salah satu yang mengenangnya. Meski semua
sudah berubah, kamu sudah berubah, dan tentu saja aku sudah berubah, kenangan
akan tetap sama. Mungkin, kamu tak akan mengingat apa yang pernah terjadi di
antara kita dulu secara detail, melupakan apa yang membuatku hampir gila karena
tak bisa memilikinya. Kenangan akan tetap sama, hanya mungkin di masa depan
orang takkan mengingatnya dengan cara yang sama.
Semua tentu
sudah berbeda. Dan perbedaan itu semakin
jelas ketika tadi pagi aku bertemu kamu,
bersama seorang gadis yang pernah kau simpan fotonya di ponselmu dulu—ketika masih
bersamaku. Gadis yang sama, senyum yang sama. Aku ingat jelas itu karena kamu
pernah mencetak fotonya dan memasangnya di dompet.
Aku tak
perlu mencari tahu. Aku juga tak perlu membuktikan semuanya. Kehadirannya sudah
cukup menerangkan semuanya. Tentu, semua sudah berbeda, dan aku tak perlu
memperjuangkannya agar kembali sama. Kita—aku dan kamu, sudah punya kehidupan
jalan sendiri-sendiri meski aku masih sering mengingat kembali apa yang pernah
terjadi di antara kita dan merindukanmu.
Dulu,
satu tahun yang lalu, kita berdua pernah bersama dan berbagi rasa. Kita pernah
nyaris saling memperjuangkan meski kini kita jadi saling mengabaikan. Dulu,
kita pernah bahagia bersama, meski kini kita sudah bahagia dengan jalannya
sendiri-sendiri. Ya, semua memang berlangsung satu tahun yang lalu, tapi ada
satu hal yang terbawa sampai sekarang. Dan hal itu jadi alasan mengapa air mataku
menetes ketika tadi melihatmu bersama gadis itu. Juga jadi alasan mengapa
ketika sampai di kalimat akhir ini, air mataku terjatuh lagi.
Aku
masih mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar