Terlalu Mencintai

Aku menulis ini ketika Oreo kemasan besar yang sengaja kuambil sudah habis. Udara sudah begitu dingin, namun mendung tak kunjung menghujan. Aku sibuk menghangatkan diri di kamar, sembari mengingatmu, dan mengingat penyakit abadi yang kauciptakan di hatiku.

Seperti biasa, kamu menghilang tanpa jejak dan tak mengizinkanku sedikitpun untuk tahu kabarmu. Padahal, aku hanya ingin tahu, apakah luka dihatimu sudah betul-betul sembuh, apakah suaramu yang sempat hilang sudah kembali, atau apakah tugas Bahasa Indonesia --yang biasanya kauminta aku untuk membantu mengerjakannya- sudah selesai. Kamu tak mengizinkanku untuksedikit melihat kehidupanmu, yang berjalan tanpa perubahan, bahkan setelah nama kita sudah terhapus dari buku takdir. Sayang, jika kubilang bahwa aku merindukanmu, apa yang akan kaukatakan? Karena kutahu pasti kau takkan memiliki rindu sedalam yang kupunya, dan keinginan bertemu sekuat yang kupunya.

Aku tidak ingin kamu baca tulisan ini. Karena aku tahu, kamu pasti akan tertawa terbahak-bahak jika mengetahuinya. Aku tidak ingin orang sekelas kamu membaca tulisan ecek-ecek karyaku, yang kubuat untuk menumpahkan kekesalanku atas kebohonganmu. Dan kemunafikanmu yang telak kupercayai dengan sangat berani.

Aku belum sepenuhnya lupa, Sayang. Rangkulanmu yang mendarat di pundakku, pelukan hangatmu, perhatian-perhatian kecil yang berhasil meletupkan hatiku. Sayang, kauberhasil membuatku percaya; ini cinta.

Tapi salahku, yang selalu kuulangi tiap dekat dengan lelaki, kuselalu percaya bahwa cinta juga akan dibalas dengan cinta. Hingga saat kutahu bahwa aku tak sebermakna itu di hatimu, aku jadi kalut, aku jadi benci pada diriku sendiri yang tak mencegah rasa cintaku padamu. Namaku tak ada di sudut hatimu, senyumku tak jadi penghias mimpimu. Iya, Sayang. Si tolol ini lagi-lagi berharap; padamu, yang jelas hanya menganggapnya teman curhat.

Ketika kamu dengan bebasnya datang dan pergi, tak terbesit sedikitpun bahwa aku bukanlah tujuanmu. Tak terpikir bahwa aku hanya akan jadi halte tempatmu singgah, tanpa benar-benar menetap. Dan kebodohanku semakin lengkap ketika dengan nekat aku mulai berharap, agar cinta yang tumbuh ini akan mendapat pengakuan hingga berujung pada penyatuan. Sayang, aku terlalu yakin bahwa kamu juga punya rasa yang sama.

Bahkan, Sayang, saat kau dengan tegas melarangku untuk menghubungimupun, aku tetap nekat merindukanmu dengan segenap kekuatan yang masih kupunya. Walau rasa dingin ini begitu menusuk kulitku, dan selimut yang tak mampu menghilangkannya, aku tetap merindukanmu, ketika aku yakin bahwa saat ini kau sedang berpeluk mesra dengan gadis itu, yang telah kauresmikan statusnya.

Ini tepat satu bulan kamu tak memberi kabar dan aku tetap setia menunggu. Rasanya, ketololan ini tak bisa kuhentikan. Aku terlalu rapuh, terlalu mencintai, terlalu merindu. Aku terlalu takut kehilangan seseorang--yang bukan siapa-siapaku- namun menjadi pemilik seluruh isi hatiku. Namanya tak pernah luput dari doaku; karena aku mencintainya. Dari setiap sikapku yang menurutmu selalu gagal kaubaca.

Rasanya, tak ada lagi yang bisa kutuliskan untuk menghapus perasaan rinduku. Aku tak perlu tahu kabarmu, 'kan? Iya. Iya. Iya.... iya, kok.

Sayang, apa kabar? Aku kangen.

Komentar

What's most