Cinta Sejati [Bukan Cinta Kalau Ada Pengorbanan]

Saya masih mengurusi luka yang tergores beberapa minggu yang lalu. Luka yang saya obati sendiri, dengan jemari saya sendiri dengan perjuangan sendiri. Di dunia ini, tidak ada yang abadi, tidak ada yang akan benar-benar singgah, semua akan datang dan pergi. Dengan begitu kita bisa menghargai pertemuan, dan mengikhlaskan perpisahan. Tuhan berlaku adil pada setiap umatnya, jika Ia mempertemukan lalu memisahkan, itu adalah isyarat jika Ia akan menggantikn sesuatu yang hilang itu dengan hal yang lebih indah lagi, jika sudah tiba saatnya. Termasuk cinta.

Waktu itu, pukul setengah sebelas malam saya tiba-tiba lapar sehabis menulis. Kebetulan, ayah saya masih asik menonton siaran berita malam, jadi saya mengajaknya untuk berkeliling alun-alun sebentar sembari nencari makan. Sesampainya di warung kaki lima--lesehan- kami makan dalam diam. Sebungkus nasi megono, tempe goreng panas, dan segelas es teh cukup di malam itu. Seusai makan, saya dan ayah saya belum beranjak. Ia mulai mengajak saya membicarakan perkembangan politik, hukum, dan sosial. Pilpres menjadi topik yang hangat waktu itu, saya dan ayah saya pun membincangkannya. Lalu, sampai pada ketika ayah saya membicarakan sesuatu yang sakral, yang jarang ia diskusikan dengan anaknya--saya, dalam hal ini; cinta.

Dia bercerita bagaimana dia sangat mencintai ibu saya. Ibu saya, adalah tulang rusuknya yang ia cari selama sekian tahun. Dia adalah sosok wanita sempurna, indah, dan.. ah, sulit melukiskannya dalam bentuk sajak apapun. Ibu saya begitu indah untuk hanya dipaparkan dalam bentuk puisi maupun syair. Mungkin, itulah alasan mengapa ayah saya begitu mencintainya, sampai tak mampu berkata-kata.

Sajak malam, begitu kami menyebutnya. Sepanjang malam ayah saya terus bercerita tentang ibu saya, pertemuan pertama mereka saat mereka berdua sama-sama berkerja di sebuah toko buku milik budhe saya. Jarak umur ayah dan ibu yang terpaut cukup jauh tak memupuskan cinta diantara mereka. Ayah saya, nekat mendatangi nenek saya untuk melamar ibu saya. Saat itu, ibu saya nyaris dijodohkan dengan seseorang, terlambat beberapa hari saya, ayah saya akan kehilangan ibu saya--mungkin, saya tertawa saat ia bercerita tentang bagian itu.

Cinta yang ayah saya miliki begitu dalam, saya dapat merasakan dari sorot matanya. Dalam ke ambiguan, dia berkata, 'Ayah berusaha mencintai ibu, kamu, dan adikmu sebisa Ayah.' Saya terharu mendengar ayah saya berkata seperti itu. Diantara masalah pekerjaan yang sedang dialaminya, dia tetap berusaha tegar, berusaha sebisa mungkin tetap tersenyum dihadapan keluarga kecilnya ini.

Dari ayah dan ibu saya, saya belajar sesuatu hal yang tidak bisa saya dapatkan dimanapun. Yakni tentang kasih sayang yang tulus dan cinta. Ayah saya sangat mencintai ibu saya dan anak-anaknya, makanya ia bekerja membanting tulang; untuk kebahagiaan mereka. Ibu saya sangat mencintai ayah saya dan anak-anaknya, makanya ia tulus mengurus keluarga, tetap sabar walau ayah sering pulang malam, tetap tegar walau saya tahu betapa lelahnya dia mengurusi kami. Ini bukan pengorbanan, ini adalah hal lumrah ketika mencintai. Kaumencintainya maka akan kau lakukan apalun untuk cinta itu. Kaumencintainya maka segalanya akan kau lakukan untuknya; menangisinya, menunggunya, menjaganya, mendoakannya dengan atau tanpa sepengetahuannya. Bukan merasa berkorban untuknya atau bukan karena merasa dibodohi. Ini cinta sejati.

Saya tidak tahu betapa bodohnya saya ketika menghabiskan waktu saya untuk mencintai dia. Saya sibuk menangisinya, menyembuhkan luka yang dia ciptakan di hati saya. Saya sudah sering seperti ini, diberi harapan lalu disakiti, dicintai lalu ditinggal pergi, saya tidak pernah berniat membalas apapun--ini bukan kebutaan karena cinta, bukan juga terbodohi karena otak tak pernah ikut andil saat mencintai, itu bukan pengorbanan, itu adalah sesuatu yang kau lakukan karena kau mencintainya. Kau mencintainya karena itu kau biarkan hatimu menunggunya, kau mencintainya maka kau ikhlaskan cintamu pergi bersama sahabatmu, dan kau mencintainya maka itu kau tetap setia walau kau beribadah di Masjid, sementara ia di gereja. Pun ketika kau hanya jatuh cinta sendirian, yang kau tahu adalah kau mencintainya; dibalas atau tidak itu urusan belakang. Atau bahasa mudahnya, 'Aku hanya perlu mencintaimu. Soal dirimu, itu uruasanmu.'

Sederhana memang. Hal kecil bisa berubah luar biasa jika dilihat dari sisi yang berbeda. Ayah saya mengajarkan saya banyak hal tentang itu; cinta dan pengorbanan. Manusia memang mahluk yang paling tidak tahu apa-apa. Ia merasa mencintai, maka Ia merasa berkorban. Bukan begitu. Cinta yang tulus tidak memandang apapun; karena hati tidak punya mata, ia hanya punya perasaan untuk merasa. Seperti Tuhan kepada umat-Nya, itu adalah cinta yang hakiki, cinta yang abadi.

Cinta sejati. Frasa tadi sedikit menggelitik saya. Apa benar hal itu ada? Tapi melihat ayah dan ibu saya, mungkin saya bisa melihat contoh nyata cinta sejati dihadapan saya, meski belum bisa mendapatkannya.
Intinya, kau mencintainya, maka kaubiarkan dirimu berlaku atas nama cinta itu.

Selamat berjuang bagi kalian; yang jatuh cinta diam-diam, yang cinta jarak jauh, yang saling menunggu tapi tidak saling tahu, yang hubungannya tidak jelas, yang cintanya berbeda rumah ibadah. Selamat mencintai. :)

Komentar

What's most