Melepas Tanpa Pernah Memiliki

Sabtu itu langit mendung. Aku tak mengelakkan rasa dingin yang begitu menusuk kulit. Aku menuju gerbang sekolah dengan mata sembab, akibat menangis semalaman.
Semalam aku sudah memikirkan semuanya dalam-dalam. Mantap-mantap. Aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Segalanya yang aku rasakan tentang dia. Entah cinta entah asa entah luka. Bukankan jatuh cinta memang perasaan serba entah?
Seikat bunga dan sejuta kata-kata sudah kusiapkan. Aku akan melupakan gengsiku sebagai wanita yang tidak akan mengungkapkan perasaan duluan. Aku lelah, kau tahu? Nyaris dua tahun penantianku dan jika Sabtu ini aku masih diam maka aku akan gagal.

Pagi itu aku langsung menemukanmu. Di sela-sela kerumunan orang yang tengah menyaksikan panitia perpisahan memercantik panggung pensi untuk siang ini. Aku lihat senyumanmu. Senyum yang selalu membuatku tak pernah berhenti jatuh cinta padamu berkali-kali. Senyum yang selalu kurangkai tiap malam untuk pengantar doa agar aku senantiasa memimpikanmu.

Melihat senyummu itu aku jadi ingat awal perkenalan kita awal kelas dulu. Sebenarnya aku sudah lama mengenalmu, sudah lama mengagumimu, tapi kamu tidak tahu. Aku bersembunyi dibalik ratusan puisi yang kubuat untuk dikirimkan padamu tapi tak pernah sampai. Puisi-puisi cinta tentang kekaguman. Kekagumanku akan sosok kamu.
Kupikir cintaku akan bertepuk sebelah tangan dan tetap jalan ditempat. Dan aku langsung mengubah presepsiku itu saat tiba-tiba kamu datang ke mejaku, memberikan senyuman, lalu menyerahkan setumpuk kertas berisi tugas bahasa Indonesia, tentang puisi. Aku tidak tahu darimana kamu tahu bahwa aku suka puisi, tapi aku tidak peduli karena setelah itu kita melalui beberapa hari sebagai satu kelompok.
Semua tugas-tugas awal kelas yang selalu memenuhi tas sekolahku tak pernah membuatku suntuk karena ingat bahwa kertas-kertas itulah yang membuat kita dekat. Meski saat itu kita tidak terikat.
Aku ingat bagaimana kamu menyambut kedatanganku tiap pagi dengan senyum dan sekadar gombalan manis yang harusnya basi tapi terasa begitu puitis di telingaku. Mengirimiku emotikon berbentuk ciuman yang sering membuatku tersenyum kegirangan. Dan merasakan benih-benih itu tumbuh di hatiku hingga semakin lama semakin kuat.
Kedekatan kita tak lebih dari 3 bulan karena setelah itu kamu menjalin kasih dengan salah seorang temanku.
Aku hancur tentu saja. Hancur sekali.
Dan apa setelah itu aku segera mengusaikan perasaanku dan melupakan luka itu? Tidak. Tidak sama sekali.
Bahkan sampai kamu putus dengan kekasihmu aku masih jatuh cinta berulang kali padamu. Melupakan rasa sakitku yang begitu ngilu.

Lalu, hari-hari, bulan-bulan, kulalui dengan pengabaian. Kamu menjadi sosok yang berbeda. Kamu seperti orang lain, dan menganggapku seolah kita tak pernah dekat, bicara padaku seolah kita tak pernah saling mengenal sebelumnya. Aku merindukan sosokmu dahulu.
Berbulan-bulan perasaanku diabaikan, tapi aku masih tetap diam memendam. Mengendalikan segala emosi yang selalu berkobar, mengenyahkan segala luka yang begitu mengiris dada. Aku berjuang. Memperjuangkanmu diam-diam. Mendoakanmu tanpa harus kamu tahu.

Sampai hari ini. Hari Sabtu terakhir UAS sekaligus perpisahan kakak kelas. Tak terasa penantianku sudah selama ini. Dan aku akan mengusaikannya dengan pengungkapan. Ungkapan kata bahwa, "aku mencintaimu."

Mental sudah kusiapkan aku bersiap mengungkapkan segalanya. Mengusaikan lukaku. Aku tidak peduli jawabanmu, aku hanya mau kamu tahu aku mencintaimu. Itu saja, cukup.
Selepas menonton penampilan unjuk suara anggota vocal grup sekolahku sebagai pembukaan acara pagi ini. Aku segera menuju ke kelasku. Berharap bisa menemukanmu disana.
Aku berjalan cepat-cepat, mengabaikan segala riuh acara perpisahan yang menggema di sekolahku pagi ini. Aku hanya mengarah padamu. Kamu.

Sampai aku tahu hatiku hancur berkeping-keping justru ketkka melihatmu. Kamu, dengan senyum yang selalu kurindukan itu, duduk berdua dengan wanita lain. Tersenyum bersama , bahagia berdua.
Entah mengapa tiba-tiba kakiku lemas. Kepalaku mendadak pusing. Dan air mataku menganak sungai dipelupuk mata. Aku masuk ke kelas dengan lemas. Segera duduk di bangku paling belakang, bangku favoritmu.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Kenapa menangis? Kenapa malah duduk disini? Kenapa tidak pergi dari tempat  jahanam ini? Bulshit!
Aku masih menyaksikanmu dan gadis itu bahagia. Tanganmu menggenggam tangan gadis itu, sehangat kamu menggenggam tanganku dulu. Kamu jahat. Aku benci kamu.

Tapi aku mencintaimu...

Masih terngiang kata-kata bangsat itu di kepalaku. Memenuhi rongga-rongga dadaku. Kenapa? Kenapa?!?! 

Masih dengan perasaan yang sama aku meninggalkan kelas. Melalui kamu dan gadis itu yang masih tertawa-tawa melihat layar laptop. Seperti menertawakanku secara tidak langsung.
Sampai tangan itu menarikku. Tangan hangat yang selalu kurindukan kehangatannya sampai sekarang.

"Kamu nangis kenapa?" Tanyamu tiba-tiba membuatku tercengang. Darimana dia tahu aku menangis?

"Bukan urusan kamu."

Aku menghempaskan tangan itu begitu saja lalu lari meninggalkan kelas jahannam ini. Aku ingin sendirian. Menangis tanpa ada yang menggangguku.

Aku duduk sendiri di belakang sekolah. Meluapkan segala amarah yang membuat berhenti seluruh peredaran darah.

Aku membiarkan rasa sakit itu membakar rasa cintaku. Semuanya. Kenangan-kenangan sampah yang kuperjuangkan sampai berdarah-darah.

***

Hari ini aku gagal. Gagal tanpa pernah mencoba sama sekali. Sabtu paling kelam selama penantianku. Selama hampir dua tahun ini.
Aku mencoba melepaskanmu. Meski ribuan rasa tak rela menghujam-hujam dan menyobek nadiku. Di balik keikhlasan yang coba ku tunjukan, ada jutaan harapan yang masih kusimpan.

Aku melepasmu. Tanpa pernah mencoba menggenggammu sama sekali. 

Ps: Bagaimana mungkin aku akan melepaskanmu padahal menggenggammu saja aku tidak pernah?

Komentar

What's most