Kamu, Aku, dan Mantanmu yang Masih Kau Cintai..

Aku menemukanmu sebagai orang yang begitu keras kepala tapi begitu sering kurindukan. Kamu berbeda. Dengan itu aku mencintaimu.

Beberapa hal kadang membuatku sangat yakin bahwa kau memiliki perasaan yang sama. Tapi selalu ada hal yang selalu membuatku ragu untuk mengungkapkannya terus terang.

Kamu selalu konyol, selalu berhasil membuatku tertawa terbahak-bahak dengan ucapanmu yang spontan tapi begitu menggelikan. Kamu juga keras kepala, seseorang yang selalu menang, atau tepatnya tak mau kalah saat beradu argumen denganku. Aku suka caramu melucu. Juga jatuh cinta pada keseriusanmu.

Aku sering memperhatikanmu diam-diam dan menuliskan tentangmu dimanapun. Kamu sering membaca tulisan itu, tapi tak pernah menyadari bahwa semuanya adalah tentang kamu. Kamu selalu tertawa dan mengataiku gadis melankolis yang tak pernah mau mencari pacar, terpaku pada seseorang yang tak memperdulikan perasaanku. Aku tertawa, kamu mengatai dirimu sendiri.

Kamu tak pernah jauh dariku, kami begitu dekat, tapi tak pernah bersama, kamu tak pernah kumiliki. Kamu begitu sulit untuk kugapai. Perasaan ini begitu dalam, membuatku menguncinya dengan diam. Membuatku menyimpannya rapat-rapat. Takkan kuhilangkan.

Aku menceritakanmu pada teman-temanku sebagai teman terbaik yang selalu menggelitikku dengan banyolanmu. Mereka selalu suka mendengarkan ceritaku dengan baik, tanpa tahu aku melibatkan emosi dibalik cerita, tanpa pernah paham perasaanku yang sebenarnya. Takkan pernah.

Lalu, aku ingat bagaimana tiba-tiba kamu bercerita tentang seseorang yang masih sangat kaucintai sampai saat ini. Seseorang dari masa lalumu, yang kaubilang tak bisa kau lupakan. Kamu bercerita tentang perasaanmu padanya. Kamu masih mencintainya, tapi berbeda dengan dia, yang sudah memilih penggantimu dan meneguhkan hati pada orang itu. Aku tahu kamu hancur saat itu. Aku juga. Kita sama-sama hancur, sama-sama menangis dalam hati, tapi dengan alasan yang berbeda.

Sebaik mungkin aku mencoba tetap baik-baik saja walaupun hatiku terluka parah. Hatiku berdarah.

Kamu terus berceloteh menceritakan bagaimana kamu masih mengharapkan mantan kekasihmu yang telah berdua itu kembali. Kembali kepadamu. Aku masih tetap diam, diam menahan sakit yang merajam-rajam. Matamu tiba-tiba menerawang, dan berkata bahwa kamu sangat merindukan dia. Aku tersenyum, menyuruhmu sabar.

Aku ingat saat itu sudah sore, tetapi aku dan kamu masih belum mau beranjak pergi dari taman sekolah. Kamu masih berceloteh sambil menerawang sementara aku mendengarkanmu bercerita sambil menahan tangis. Aku baru tahu tentang ini, dan rasanya langsung sakit sekali. Sesak di dadaku makin membludak, minta dimuntahkan keluar, minta dikatakan dengan teriak. Tapi aku tidak bisa, tidak sanggup.

Aku mencintaimu. Mengapa begitu sulit mengatakan dua kalimat itu? Mengapa aku masih terus bertahan dalam diamku?

Aku takut. Itu jawabanku. Aku takut kehilangan kamu, aku takut kehilangan kebersamaan kita, dan aku takut kehilangan nada lucumu saat bercerita. Aku takut kehilangan semua itu.

Mungkin aku memang benar-benar penakut. Benar-benar pengecut karena tak berani mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku benar-benar pengecut.

Saat kamu tiba-tiba diam dan menatapku, aku sadar sejak tadi aku sudah sama sekali tak mendengarkan ceritamu tentang mantanmu. Aku sudah tidak (mau) mendengarkannya sama sekali.

Aku masih ingat waktu itu. Setelah pulang dari sekolah aku langsung masuk kamar dan menangis sejadinya. Mengeluarkan kesakitanku yang menyembul dengan hebatnya. Mengerang sekuatnya, tanpa memperdulikan bau badanku yang begitu menyengat. Aku hanya ingin menangis, itu saja cukup.

Ponselku berdering, saat satu pesan baru masuk. Dari kamu. Aku membukanya dan entah mengapa kesedihan itu langsung hilang dan senyumku langsung mengembang.

"Terimakasih untuk sore ini. Kamu yang terbaik. Kamu hebat, oh ya, saran move onmu tadi sudah kupikirkan. Ke kamu aja kali ya move onnya? HAHA."

Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan darinya. Berharap ia tahu bahwa aku ingin ia serius dengan isi pesannya itu. Aku melupakan sifatmu yang senang melucu. Aku tidak mempedulikan itu.

Aku menyukai semua leluconmu. Tapi aku juga jatuh cinta pada sikap seriusmu yang tak pernah ingin kalah.

Ps: Aku diam. Menahan sakit yang merajam.

Dari aku lawan beradu , yang selalu kau kalahkan.

Komentar

What's most