Temani Aku Mencintaimu
Perempuanku, bisakah aku berharap
pada manusia tanpa kecewa? Bermimpi mereka punya cukup empati dan belajar
peduli, bukan hanya karena penasaran? Aku ingin tahu apa manusia punya cukup
perasaan di dadanya untuk memerhatikan manusia lain. Apakah semua manusia
sesungguhnya punya perasaan peduli secara tulus, atau hanya dirimu saja,
Perempuanku?
“Aku mengantuk. Aku ingin tidur,”
kau berkata. Aku ingin tersenyum dan membelai rambutmu, tapi ada beberapa
kenyataan yang hanya bisa kita raih lewat mimpi. Aku hanya bisa membayangkan
betapa menyenangkan bisa meraih napasmu yang terlelap, betapa bahagia aku bisa
menghitung mimpimu satu persatu, betapa indahnya mengabulkan mimpi itu
bersamamu.
Mencintaimu, rindu tak pernah bisa
diam. Gemerisik itu membuatku ingin menjadikanmu milikku satu-satunya. Sampai
aku berteriak-teriak pada semesta, meminta persetujuan mereka, melolong-lolong
pada semua orang untuk membantuku mendapatkanmu. Tapi, toh, mereka hanya
menatapku prihatin. Melirikku seperti melirik gelandangan, atau orang yang
kehabisan kewarasannya namun menolak dibawa ke Magelang. Mencintaimu, Perempuanku,
seperti bertarung pada ketidak mungkinan paling mungkin yang bisa aku
bayangkan. Seperti aku dipaksa makan bakso cuangki pakai sendok soto; bisa
saja, tapi bukan kodratnya.
Aku benar-benar memohon pada semesta
untuk mengabulkan ide paling imajinatifku untuk memilikimu, melupakan bahwa
seharusnya aku hanya perlu memohon pada ayahmu. Tapi kau menolak ide gila itu. Bagimu
aku cengeng dan konyol, juga tidak punya otak. Padahal kau yang paling paham
betul, mengapa aku terpikir untuk memohon pada ayahmu. Kau yang minta sendiri,
Perempuanku, katamu, “Aku nurut sekali pada ayahku.” Tapi mengapa untuk hal
yang satu ini kau tidak sepakat?
Di suatu malam sepi, aku mengajakmu
ke pinggir perumahan untuk memandangi kota. Di atap mobil, kita duduk sambil
menikmati keheningan masing-masing. Aku tidak tertarik dengan kota, aku tertarik
denganmu. Dengan ide untuk hidup denganmu, menghabiskan umur bersamamu. Aku
menyukaimu dan aku kehabisan kata-kata lagi untuk menjelaskannya sebab sampai
matipun kelihatannya kamu tidak akan pernah mengerti. Jadi, aku hanya menatapmu—yang
tengah kepedasan makan popmie—memerhatikan
matamu yang berkilauan memantulkan cahaya lampu kota. Pernahkah kamu berpikir,
Perempuanku, seberapa gila aku mencintaimu, sebagaimana kamu mencintai
lampu-lampu kota itu?
“Terima kasih.” katamu berbisik,
nyaris tidak terdengar sama sekali. “Untuk pemandangan ini. Aku suka sekali. Sumpah,”
lanjutmu kini sambil menengok ke arahku. Gelas popmie-mu kamu letakkan di samping kamu duduk.
“Sama-sama. Aku juga gabut, kok.”
“Terima kasih juga sudah mau
bertahan sejauh ini.”
“Iya. Semoga bisa lebih lama.”
Lalu, Perempuanku, kamu memberikan
aku senyum paling menenangkan yang bisa aku dapatkan dari manusia. Andai kamu
paham, seberapa hebat harapanku untuk terus mempertahankan senyum itu. Andai
kamu mengerti, bahwa senyum itu adalah obat untuk meredakan segala kecemasan
dan kegilaanku dalam menjalani hidup. Andai kamu mengerti, andai ... mungkin
kamu tidak akan berpaling lagi.
Kamu melanjutkan aktivitasmu memandangi
lampu-lampu kota, dan aku melanjutkan aktivitasku memandangimu. Terima kasih,
untuk tidak pernah pergi. Aku akan berusaha memahami, mengapa kita harus
bertahan seperti ini sampai waktu yang tidak ditentukan. Kamu tidak memberiku
pilihan apapun selain menjadi teman, tapi aku sudah menolak peduli soal itu
sejak aku merasakan kedamaian mahahebat hanya dengan melihat senyummu.
Mungkin, kelak nanti kamu akan mengerti.
Tidak sekarang, tapi nanti. Untuk saat ini, duduk saja di sampingku, temani aku
mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar