Pertemuan Indonesia


 Semuanya merah putih ...

            Stasiun MRT Lebak Bulus hari ini tiba-tiba ramai sekali—tapi bukan ramai yang berisik, bukan ramai yang memuakkan; ramai kali ini membuat jiwanya tenang.

            Sudah lama sekali, sejak lima tahun lalu ... sudah begitu lama.

            Dia berjalan dengan gagah dan percaya diri ditemani dua orang di belakangnya. Di tengah riuh teriakan masyarakat, di tengah hingar bingar oleh orang-orang; entah wartawan, entah warga Jakarta, entah siapapun. Semuanya.

            “BAPAKKK!!!”

            “PAKDE!!!”

            “WOI MINGGIR!!”

            “Persatuan Indonesia!!”      

            “Liat tuh akur goblok!”

            Sementara di seberangnya, seorang pria dengan kemeja putih yang sama putih dengan miliknya, berjalan sendirian tak kalah kuatnya, tak kalah gagahnya. Begitu keduanya sampai di jarak yang relatif dekat, pria itu mengangkat tangannya, memasang tanda hormat. Dibalas dengan perbuatan yang sama oleh pria yang satunya lagi.

            Setelah ini, tak ada lagi.

            Keduanya bersalaman, entah berdamai, entah hanya sekadar basa-basi. Hanya saja, genggaman itu terasa hangat.

­---

            Keduanya kini telah duduk berdua di gerbong tiga dalam kereta MRT menuju stasiun FX Sudirman. Banyak yang menyaksikan pemandangan langka itu dengan berbagai ekspresi—tapi kedua orang itu justru tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi objek seluruh penjuru negeri. Bahwa dua orang yang semula berseberangan sisi itu duduk berdampingan, menurunkan ego dan gengsi yang selama ini dipelihara setengah mati ...

            ... entah atas nama apa.

            “Selamat, Pak.”

            Pria yang bertubuh gemuk, dengan kemeja pendek, membuka percakapan. Dalam dadanya, ada gemuruh yang sesungguhnya tak bisa didefinisikannya dengan kalimat atau narasi apapun. Berbulan-bulan lalu, dipeliharanya ambisi, yang seringkali memenuhi akal sehatnya. Sampai rasanya lelah sekali, sepi sekali. Rasanya seperti kehilangan diri sendiri, padahal hanya untuk nama kekuasaan yang sejujurnya telah lenyap makna itu dari dalam jiwanya.

            Padahal semula, niatnya tulus tak lebih dari sekadar membangun negara ini. Walau dia tak punya pengalaman apa-apa, tapi keresahannya membawanya pada satu gerakan penting untuk mengabdi pada negara yang dia cintai ini. Tapi, mengapa? Mengapa seolah-olah dia kehilangan idealismenya? Sejak kapan?

            Sejak pemilu.

            Maka hari ini, adalah upayanya berdamai dengan diri sendiri. Sudah cukup lama dia terbenam dalam segala perkara yang memakan habis hati nuraninya. Sudah cukup lama urusan politik ini menggerogoti wibawa dan kekuatannya. Semuanya sudah cukup, sudah saatnya dia kembali waras.

            “Kita sama-sama bangun negara ini, Pak.”

            Pria kurus di sampingnya membalas ucapan selamatnya itu, dengan kecamuk perasaan yang tak jauh berbeda. Kelelahan yang menderanya selama ini bukan sekadar karena jabatan maupun posisi politik ini. Semuanya jauh lebih dalam dari sekadar apakah dia pemimpin, atau apakah dia adalah kader sebuah organisasi. Beban moral dan tanggung jawab yang ia emban atas nama negeri, sejujurnya membuatnya hampir depresi.

            Ditambah pendukungnya maupun pendukung lawannya dalam ajang pemilihan, semuanya tak lebih dari manusia-manusia yang mengira bahwa politik adalah sebuah drama pertunjukan cebong kampret. Nyatanya, tidak sedangkal itu. Jika sedangkal itu, sudah lama dia ingin melakukan sesuatu pada orang-orang yang mengatainya mangkir ideologi. Politik bukan ajang mencari kehidupan, merupakan sarana meniupkan idealisme.          

            Hanya sering kali orang-orang sulit memahami itu, dan dia, lama kelamaan, juga terseret.

            Dalam kereta MRT yang melaju kilat, ada perasaan dari dua orang yang selama ini berseberangan sisi itu tengah bereaksi hebat mengenai pertemuan ini. Tidak peduli masyarakat menganggap ini sebagai apa, atau elit partai berharap pertemuan ini akan menghasilkan apa. Dua orang itu, sejujurnya, tidak mendengarkan kebisingan yang memuakkan itu.

            Keduanya, tengah berdamai dengan diri mereka masing-masing.

            “Saya mencintai negara ini, Pak, sudah tertanam sejak saya di militer, atau mungkin jauh sebelum itu. Butuh waktu lama untuk saya menyerahkannya kepada seseorang yang semula saya anggap musuh. Tapi, masyarakat memercayai Bapak, sebagaiman seharusnya, sudah sejak lama saya melakukan itu ...” pria yang berkemeja pendek berbicara panjang tanpa menatap lawan bicaranya. Dia menerawang, seperti ada sesuatu yang berusaha dia relakan.

            “Saya juga mencintai negara ini, Pak, tapi bukan berarti saya ingin memilikinya sendiri. Negara sebesar ini, banyak juga masyarakat yang mencintai Bapak. Sesungguhnya, Bapak telah menjadi pemimpin dan akan terus seperti itu. Kita yang kelola negara ini sama-sama, Pak, negara ini bukan milik perorangan.” Jawab pria yang berkemeja panjang.

            Keduanya saling tersenyum.

            Benar, perjuangan belum selesai.

            Keduanya, telah menang dalam definisi yang berbeda. Dalam kompetisi ini barangkali hanya satu yang menjadi juaranya, tapi keduanya telah berhasil untuk menjadi pemimpin; tidak harus menjadi pemimpin untuk banyak orang, tapi menjadi pemimpin untuk diri mereka sendiri. Mereka telah menang melawan diri mereka sendiri, melawan ambisi kekuasaan, melawan upaya-upaya yang bisa saja menggoyahkan segala idealisme yang mereka perjuangkan sampai mati. Mereka menang dalam perang melawan jiwa kepengecutan, buktinya adalah pertemuan ini. Pertemuan tidak atas nama apapun, selain bangsa yang mengandung dan membesarkan mereka berdua.

            Suara masyarakat yang kini tengah bertepuk tangan riuh dengan pertemuan ini, segala kebisingan yang mereka dengar, masih sebagian kecil dari suara dalam goa yang diteriakkan rakyat Indonesia. Setelah pemilu, yang terjadi bukanlah pesta, melainkan sebuah kekuatan baru yang terbentuk dengan niat untuk memajukkan Indonesia.

            Sebab Indonesia masih muda, maka perjuangan itu haruslah panjang umurnya.

            “Merdeka, Pak?”

            “Merdeka!”

            “Ha-ha-ha-ha!!”

            Kini keduanya tertawa sembari menyambut riuh teriakkan masyarakat yang kini ramai juga berteriak-teriak, “We love you!

            “Selamat rambutnya tambah putih, Pak!”

            “Selamat pelihara kuda lagi juga, Pak!”
           
Bagimu negeri,
Jiwa raga,
Kami.


Komentar

What's most