Mengapa Kami Tak Bisa Mengenal Satu Sama Lain


            Semua orang membicarakannya.

            Seseorang yang tak kutahu warna bola matanya, seseorang yang mulanya kukira aku tak pernah melihatnya. Seseorang yang membuatku bertanya-tanya tentang orang seperti apa dia.

            Sampai akhirnya kami bertemu.

            Aku tahu dia, barangkali pernah melihatnya sekali atau dua kali di warteg dekat kampus. Tapi aku tidak menyangka dia akan sedekat ini di depanku, berbicara pada seseorang di sampingku, dan aku hanya bisa membisu.

            Ternyata, lebih buruk dari yang dibicarakan orang-orang. Dia bukan hanya sombong dan banyak bicara, dia juga ... semenyilaukan matahari.

            Aku tak berani menatapnya, bahkan melihat wajahnya maupun menunjukan keberadaanku. Aku hanya terdiam dan menunduk sambil berdoa semoga dia tidak mengenaliku. Sambil berharap dadaku yang berdebar keras tidak didengarnya. Dan dia secepat kilat pergi lalu aku tak perlu kesilauan lagi.

            Semilir angin dan semesta yang berdesir. Entah sejak kapan aku jadi ingin tahu banyak tentangnya; di tengah ketidakmampuanku untuk mengajaknya berbincang lebih dulu, di tengah ketidakberdayaanku untuk menggerakan lidah, atau sekadar tersenyum menyapanya, bahkan untuk menunjukan diri bahwa aku ada. Berhadapan dengannya, aku hanya kurcaci yang tak punya nyali. Aku hanya bisa berlari, kabur untuk melenyapkan diri.

            Sampai mati, aku hanya akan kesilauan oleh keberadaannya, dengan aku yang begini-begini saja.

            “Padahal semua orang membicarakanmu ...”

            Aku menghela napas,

---

            Semua orang membicarakannya.

            Aku merasa pernah mendengar namanya sekali, atau pernah tak sengaja tahu dari perbincangan orang lain tentang sosok itu, tapi ketika seorang temanku mendeskripsikan nama dan ciri-cirinya, otakku kosong.

            Oh, mungkin kami akhirnya bertemu.

            Ia tak begitu asing, begitulah yang kupikirkan ketika akhirnya aku melihatnya. Aku masih ragu dan sangsi sebab ia bahkan tak menyadari keberadaanku. Aku kira semua orang mengenalku. Ternyata perempuan ini adalah pengecualian.

            Aku jadi tak bisa menyimpulkan apakah ia benar-benar seperti yang dibicarakan  orang-orang. Apakah ia seceria itu, apakah ia sepintar dan secerdas itu. Aku jadi ingin tahu. Apakah ia sama seperti yang kudengar dari orang-orang?

            Ia bahkan tak merasa perlu menatapku padahal aku hanya begitu dekat dengannya. Atau, apakah ia benar-benar tidak menyadari ini aku? Aku melihat wajahnya sekilas, tak begitu yakin. Aku berbicara dengan temanku yang duduk di sampingnya, sambil sesekali mengamati pergerakannya; ia bergeming. Mungkin ia merasa tidak perlu memastikan apakah ini aku seperti aku repot-repot memastikan apakah itu ia.

            Rasanya dingin ketika aku meninggalkan ruangan. Sudah tengah malam, aku menggigil oleh rasa penasaran, yang kemudian disusul oleh perasaan aneh karena harusnya aku tak perlu buang-buang waktu itu perempuan itu. Berani-beraninya aku merasa penasaran di tengah ketidakmampuanku untuk memastikan apakah itu benar ia. Berani-beraninya aku penasaran di saat meneliti wajahnya lebih lanjut saja tidak kulakukan.

            Sampai mati, aku hanya akan dimakan oleh rasa penasaran, mengapa ia tak mau menatapku dan mengapa aku tak memintanya melakukan itu.

            “Padahal semua orang membicarakanmu ...”

            Aku mengendikan bahu,

“Mengapa kami tak bisa mengenal satu sama lain?” 

Komentar

What's most