Lekar


Tribute to Pincang


            Oh, aku di mana?

            Seperti sebuah tempat yang akrab disebut rumah. Aku tidak tahu bagaimana rumah itu bagi mahluk selain aku, tapi ngomong-ngomong aku sedikit suka tempat ini.

            Yang sedang memasak itu dipanggil Ibu oleh penghuni rumah ini. Aku ingat dia yang mempersilakanku masuk dan tidur-tiduran di dekat dapur. Aku melihat Ibu mengiris sayur-sayuran, membuat sambal, dan menggoreng tempe. Hei, Ibu ke sini! Dia memberiku sepiring makanan dan tersenyum. Aku ingin balas tersenyum, tapi aku tak punya tenaga. Maaf, Ibu, aku tak begitu berselera makan. Aku bahkan sudah tidak bisa membaui aroma dari sepiring nasi dan ikan yang Ibu berikan. Aku membetulkan posisiku, tidur lagi.

            Aku terbangun ketika hari sudah agak siang dan seorang yang dipanggil Kakak membangunkanku dengan membelai kepalaku. Aku sejujurnya, ingin bermanja-manja, tapi aku tak punya cukup keberanian untuk merespon sentuhan tangannya yang menangkan. Aku takut menyakitinya dan membuatnya kotor. Barangkali, dia sedikit kecewa karena mengira aku membenci keberadaannya. Kakak berdiri, membuka tas kecilnya, mengeluarkan kotak susu dan menuangkannya ke piring kecil yang diambilnya di lemari dapur.

            “Minum, ya, Pincang ...” lalu Kakak pergi menuju kamar.

            Aku betulan pincang, kalau kalian mau tahu. Jadi jangan memarahi Kakak karena dia memanggilku begitu. Aku juga terserang bakteri dan mataku berbelek. Sudah lama aku di jalanan, dan belaian tangan dari Kakak tak akan membuatku komplen walau dia memanggilku begitu. Lagipula aku memang seperti itu.

            Adik datang, melihat sepiring nasi dan ikan yang diberikan ibu tak kusentuh, lalu jongkok di depanku. Dia menatapku heran, “Pincang, kenapa nggak dimakan?”.

            Adik, aku dulu suka sekali makanan itu. Tapi, entah sejak kapan aku lupa makanan enak itu rasanya seperti apa. Aku hanya ingin bermalas-malasan dan merasa cukup. Aku juga tidak mau diantar ke dokter seperti Kakak semalam memaksa Ayah. Sudah cukup, aku senang diizinkan bermalas-malasan di sini.

            Bulek juga beberapa kali memberiku makan. Dia justru yang paling sering dan tak pernah menyerah walau kutolak berkali-kali. Dia memotong-motong ikan asin dengan telaten walau aku tak lagi berselera untuk makan.

            Ayah—aku paling tidak dekat dengan beliau. Beliau suka membaca koran dan minum kopi, nyaris setiap pagi barangkali. Beliau tidak seperti Ibu, Kakak, Adik, dan Bulek dalam memperhatikanku, tapi beliau mengizinkanku berbaring di bawah kakinya saat Ibu memasak, Kakak pergi kuliah, Adik sekolah, dan Bulek pergi bekerja. Beliau memberiku ketenangan seperti yang aku mau bahkan tanpa mengucapkan apapun. Aku sangat menghormati Ayah.

            Awalnya, ketika masih kuat, aku suka memburu tikus di perkampungan ini. Warga kampung ini menyukaiku. Aku menikmati ketenaranku di kampung ini. Tapi, ketika akhirnya tubuhku menua, aku bahkan tidak diterima di manapun. Istri Pak RT yang tadinya sering memberiku ikan, kini hanya memandangku jijik karena tubuhku kotor dan mataku berbelek. Aku beberapa kali juga hanya berjalan terhuyung-huyuh. Aku tak lagi punya nyali bahkan untuk sekadar mencari tempat berteduh. Aku yang tua dan menyedihkan.

            Satu-satunya keinginanku adalah mati.

            Aku sedang berpikir untuk bunuh diri di depan jalan raya, ketika Ibu datang; masih menggunakan mukena selepas pulang dari masjib. Ibu menatapku kasihan kemudian menuntunku untuk mengikutinya. Entah setan dari mana, keinginanku untuk bunuh diri lenyap. Aku mengikuti Ibu—tanpa punya ide sedikitpun akan dibawa ke mana aku.

            Kemudian aku sampai ke sebuah rumah. Rumah sederhana bercat oranye dengan pintu berwarna putih.

            Aku berpikir; aku akhirnya punya tempat yang tepat untuk sekarat.

            Aku menyukai tempat ini. Kehangatan yang keluarga ini tawarkan membuatku tenang. Aku jadi kembali punya sedikit kekuatan untuk bernapas. Walaupun cacing di perutku menyiksaku, walaupun aku mengotori lantai rumah mereka dengan muntah setiap waktu, walaupun aku tak banyak membantu kehidupan mereka, walaupun aku bukan kucing lucu yang menyenagkan seperti yang diinginkan Kakak, walau aku kotor dan mengenaskan, mereka memberiku waktu-waktu terakhir yang terbaik dalam hidupku, jauh lebih baik daripada ketenaran yang kudapatkan ketika masih muda dulu.  Mereka juga memberiku nyali untuk memikirkan soal hidup lebih lama lagi.

            Aku ingat satu hari di tengah malam, tiba-tiba seluruh tubuhku sakit luar biasa. Aku hanya mengeong lirih, puluhan kali, tapi aku yakin tak cukup untuk di dengar satu rumah. Aku berjalan menuju kamar Kakak lewat jendela kecil. Aku mengeong lagi. Tak cukup keras untuk membangunkannya.

            “Ibu, Kakak, Adik, Bulek, Ayah ... tolong aku!”

            Aku mengeong, terdengar seperti jeritan yang mengenaskan, seperti tangisan kepedihan. Aku ingin bisa bicara!

            Aku keluar dari kamar Kakak dengan tenaga terakhir yang aku punya. Berjalan lewat jendela, menyusuri ruang tamu. Aku melihat kondisi rumah ini sekali lagi, menghirup ketenangan terakhir yang bisa aku raih. Aku keluar rumah lewat jendela, sambil berbisik terima kasih.

            Di luar rumah, aku membaringkan tubuhku. Berusaha tak mengingat hal-hal yang buruk. Aku mengingat kebaikan hati Ibu, keceriaan Kakak, kepedulian Adik, ketelatenan Bulek, dan ketenangan Ayah. Aku tersenyum; betapa menyenangkannya dikelilingi manusia-manusia seperti mereka. Andai aku punya waktu lebih lama lagi, atau aku punya kesempatan untuk bereinkarnasi; aku ingin terus berada di tengah-tengah mereka.

            Aku memejamkan mata.

            Angin terakhir dalam kehidupanku berhembus; aku selesai.

            Terimakasih Ibu, Kakak, Adik, Bulek, dan Ayah! Aku mencintai kalian!


Cerita ini saya persembahkan untuk Pincang. Seekor kucing liar yang dua minggu terakhir ini secara random dirawat oleh keluarga saya. Kemarin Pincang baru saja meninggal dunia. Dear Pincang, I wish you rest in peace. I miss you. Saya sedih sekali tidak bisa ikut mengubur kamu kemarin, tapi saya sudah kirim doa. Semoga kamu diberikan tempat terbaik di surga.

Komentar

What's most