Jiwa Kekanakan
Malam panjang, dan tentang hal-hal
yang tidak berhenti kita bicarakan.
Hai, Tuan, aku—dengan secara random,
ingin menulis surat ini. Aku tahu mungkin bagimu tolol dan mengada-ada. Seperti
kau tidak percaya idealismeku dan kau membenci keras kepalaku. Surat ini datang
bersamaan dengan hal-hal yang tidak kau suka, menyangkut aku saja; maupun kita.
Beberapa hari terakhir, kesibukan
kita masing-masing menyita segala waktu yang kita punya. Terlalu lama sampai
aku jadi takut terbiasa. Terbisa tak ada kamu, terbiasa kehilangan kamu,
terbiasa tidak bersamamu. Hal-hal yang selalu aku takutkan; kehilangan
kenyamananmu, kehilangan khayalan dini hari kita, kehilangan mimpi-mimpi yang
kita bicarakan sampai pagi, kehilangan—apapun, bahkan sampai meyangkut bayangan
imajiner yang hanya muncul di otak kita masing-masing saat kita tengah bersama.
Terlalu banyak yang aku takutkan sampai aku lupa caranya merindukanmu sebab aku
sibuk menyibukkan diri agar bisa mengimbangimu.
Aku kira, hal-hal yang menunggu kita
di luar sana akan seru dan mengasyikkan. Aku lupa bagian menakutkannya, bahwa
setelah ini kita akan tumbuh mendewasa dan semakin tua. Bahwa aku dan kamu
bukan lagi anak SMA yang masih punya banyak waktu untuk merangkai mimpi.
Tinggal langkah-langkah kecillah, atau sekali-kali berlari santai, untuk kita
menggapai mimpi yang barangkali sudah kita inginkan sejak bayi. Kita sudah jauh
berbeda daripada aku dan kamu yang masih memakai seragam putih abu-abu dulu.
Aku terlalu takut dan terkejut, sampai lupa caranya berharap.
Hanya aku sajakah, Tuan, yang merasa
semakin hari dunia semakin menakutkan? Dan semakin berjalan, aku semakin
sendirian. Kita semakin jauh dan aku benar-benar takut kita menjadi asing. Aku
takut semua kedewasaan ini merenggut jiwa kekanak-kanakan kita yang selama ini
membuat kita bertahan hidup. Jiwa anak kecil pada tubuh orang dewasa, yang
menjadi nyawa untuk kebahagiaan kecil mereka.
Kau tahu, Tuan, dunia barumu yang
menyenangkan itu—tidak bisa aku sentuh sama sekali. Kehidupanmu yang baru asing
dan duniaku yang barupun asing bagimu. Satu hal yang menyakitiku adalah, kau
tidak mau membagi apapun sementara seratus persen hidupku sudah kubagi
denganmu. Salahkan aku merasa kalah oleh segala hal pada dirimu yang baru-baru?
Jiwa
kekanakan inilah yang aku takut akan membuatmu membenciku. Bahwa
ternyata aku yang selama ini kau kenal, yang sok kuat dan keras kepala, yang
idealis dan menyebalkan, ternyata hanya sosok lemah yang punya banyak rasa
takut. Dan satu-satunya obat dari segala rasa takut itu adalah kehadiranmu.
Sampai ketika aku merasa kekosongan
panjang yang masuk ke dalam jantungku dan terpompa ke seluruh tubuh itu
kudapati ketika aku di sebelahmu. Sialnya, aku tidak bisa menangis. Aku hanya
bisa menatapmu nanar, sembari berdoa kepada Tuhan, agar tidak perlu mengubahmu
lebih dari ini, yang dilanjut dengan aku yang mencaci maki diri sendiri karena
egois dan tidak tahu diri.
Maaf, maaf jika aku banyak menuntut
meski seharusnya aku bukan siapa-siapa. Maaf jika aku terlalu banyak
menggantungkan hidupku padamu. Tapi bagiku, kau semacam obat untuk segala
gelisah di kepalaku. Kau adalah pereda kecemasan yang aku butuhkan. Kau adalah
apa-apa yang aku harapkan; dan aku ialah apa yang tidak begitu penting bagimu.
Itulah kenapa aku benar-benar takut.
Aku tahu suatu saat nanti akan tiba
saatnya aku sepenuhnya kalah oleh entah apa. Entah itu prestasimu, teman
barumu, ataupun cinta yang baru. Aku pasti akan kalah oleh itu walau waktunya
tak bisa aku perkirakan. Tuan, apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa aku bantu
agar ketika tiba waktu kalahku itu, aku tidak sepenuhnya kehilangan kamu?
Tuan, aku masih Nona-mu yang sama,
yang sok kuat tapi penakut.
Sudah malam, besok aku harus kuliah
pagi dan penuh sampai sore. Lalu malam dilanjut rapat sampai pagi. Dan di sela-sela itu, aku masih punya waktu
untuk berdoa, agar kita bisa bertemu.
Jaga kesehatan, tetaplah waras. Aku,
seperti biasa, tidak akan ke mana-mana. Toh kalaupun pergi, aku pasti bisa
dicari.
Bertahan hiduplah!
Komentar
Posting Komentar