Aku Mencintainya Lebih Dulu


            Aku yang mencintainya lebih dulu. Seperti ia mencintai kretek yang terselip di kedua jemarinya, untuk dihirupnya sekali-kali. Berharap bisa memeluknya untuk meredakan tubuhnya yang menggigil walau sudah dibalut jaket kebanggaannya yang melambangkan jabatannya.

            Aku yang mencintainya lebih dulu. Seperti aku memandang wajah lelah itu seperti oase di padang pasir—berkilauan dan satu-satunya yang aku butuhkan. Wajah yang jauh lebih butuh tidur (dua hari barangkali) dibanding merokok di atas motor gedung fakultas kita. Wajah lelah yang dicintai banyak orang, yang menenggelamkan keberadaanku sekaligus perasaan itu.

            Aku kira aku telah mencintainya lebih dulu, tapi ... wow, dia kini di hadapanku, menyesap kretek sambil memandangi gelas kopi klotok yang sudah dia pesan sejak sejam yang lalu. Aku kira aku telah mencintainya lebih dulu, tapi kini, dengan wajah yang sama lelahnya sejak terakhir kali aku ceritakan padamu soal dia, duduk sambil bertelekan siku, kini menatapku lurus dan tak lagi menebak-nebak. Dia menanyakan padaku hal-hal yang asing beberapa minggu lalu.

            “Aku kira kamu nggak tahu siapa aku, Dek,” dia mematikan kretek. Aku mematikan detak jantungku.

            “Aneh kalau aku nggak tahu siapa kamu, Mas,” kataku, dan melanjutkan dalam hati, “Aku sudah mencintaimu lebih dulu.”

            Matanya memasungku, mencari celah-celah kebohonganku barangkali tersembunyi. Tapi tidak, pernyataanku sudah lebih dari jujur. Aku tahu dia dan aku, ya ... begitulah, mencintainya.

            “Kayaknya aku suka kamu.”

            Aku terdiam menatapnya seperti orang tolol. Kaget. Dan jantungan.

     Sialan, aku kira aku mencintainya lebih dulu, ternyata ia lebih dulu membuatku mencintainya.

Komentar

What's most