Kota


            Ini pertama kalinya aku menulis surat untuk seseorang. Maksudnya, secara tidak resmi. Bukan undangan pertemuan maupun ajuan proposal. Ini adalah pertama kalinya aku menyampaikan keinginanku lewat tulisan—setidaknya, ini untukmu.

            Aku sudah sampai di Semarang. Dan aroma pertama yang kubaui adalah teh hijau bercampur aroma apel dan sedikit sekali leci yang menguar mengisi atmosfer taksi yang kunaiki selepas turun dari kereta. Oh ya, kalau kamu penasaran, aku baik-baik saja.

            Aku tidak bisa mendeteksi di mana kamu sekarang ini. Setelah semua aksesku soal kamu sudah terputus, satu-satunya radar yang aku punya hanya perasaan, ingatan, dan sedikit ... rindu. Kamu berada di lautan imajiner paling rahasia di dalam otakku. Bayangan satu-satunya yang mampu aku miliki. Satu-satunya hal yang tersisa darimu setelah engkau sengaja pergi. Ah, kamu, belum apa-apa aku sudah rindu.

            Aku sekarang duduk di depan hotel, membawa serta buku catatan dan dirimu di ingatan. Udara malam di Semarang tak semenusuk perasaanku yang hilang semenjak kepergianmu yang disengaja. Tapi, sudahlah, tak ada yang penting selain kau baik-baik saja. Bahkan jika menurutmu itu tanpaku.

            Gelap yang menggantung di langit, awan menggumpal-gumpal. Satu-satunya bau yang kuaromai hanya dingin dan beku. Sisanya adalah rasa sakit yang kubawa dari kota tempat kita bersenyawa ke kota ini, kota yang kuharapkan bisa menyembuhkan aku kembali. Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang kau bawa ke kota itu—kota manapun yang kini engkau tuju? Samakah dengan apa yang aku bawa?

            Masih dingin, dan malam belum terlalu berlalu. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, salah satunya adalah : secepat apa aku akan melupakan?


Kota yang berbeda,
Dari tempat kita jatuh cinta.

Komentar

What's most