Malam Ini
Malam ini, aku tengah berpikir
tentang seorang pria yang aku harap ia tidak berubah. Dia masih orang sama, aku
hanya merindukan dia yang dulu. Pria yang aku harap tak akan muncul di tulisan
semacam ini, pria yang aku harap tak akan pernah kusiksa dalam tulisan, pria
yang kupikir sudah jadi kenyataan. Nyatanya, sebuah harapan hanya akan
menghancurkan dinding-dinding realita yang sudah dia bangun tinggi-tinggi.
Aku masih bertanya-tanya pada
diriku, barangkali aku hanya tenggelam dalam euforia cinta yang dia tawarkan
sebelum aku tersadar bahwa aku sudah tertinggal jauh di belakang; dan dia tidak
meninggalkanku jejak-jejak apapun. Seperti dia terlanjur terbang tinggi ke
langit dan aku terpuruk jatuh di tanah tanpa mampu berbuat banyak.
Bahkan setelah iya pun, aku masih
takut dia meninggalkanku.
Aku bertahan dalam sikap seperti ini
barangkali hanya untuk melindungi hatiku sendiri. Aku berusaha mencintainya
dengan cara paling bijak yang bisa kutawarkan. Menutup telinga pada semua
omongan orang-orang, cerita tentang kejelekannya, dan doa-doa buruk bagi
hubungan kami. Aku mencintainya tapi aku seperti tenggelam pada sesuatu yang seharusnya
aku tak pernah tercebur. Aku mencintainya hingga aku tidak mengerti bagaimana
cinta bisa sedemikian menyiksa.
Mungkin baginya aku egois dan
membosankan, juga seluruh perkara yang ada di otaknya—yang mana sampai kapanpun
tak akan pernah kumengerti. Betapa aku kerapkali bertanya pada diriku sendiri, ‘mengapa
baginya, cintaku saja tak cukup?’ tapi aku hanya terus bungkam. Akan sulit
menjelaskan padanya, mengapa hal seremeh temeh itu bisa menyakitiku. Akan sulit
menjelaskan padanya, betapa aku benci pada diriku yang seperti ini, yang tidak
mampu mengendalikan diri dan sama sekali kehilangan arah.
Tapi, aku hanya ingin dia tahu bahwa
aku masih ingin tahu kabarnya. Bagaimana kondisinya saat ini, apa yang akan dia
lakukan esok, dan segalanya yang dulu begitu mudah aku dapatkan. Aku masih
merindukannya dengan kadar berlebih, dengan dosis yang tak bisa kutoleransi. Aku
ingin tahu bagaimana perasaannya, apa artiku di hati dan di hidupnya, serta pertanyaan yang sampai kapanpun tak akan mampu aku utarakan padanya.
Tidakkah ada yang bisa paham
rasanya, berusaha mengerti seseorang bahkan saat kau tidak mampu mengerti
dirimu sendiri?
Aku ingin menangis. Tapi, kepedihan
ini terus menerus tertanam di dadaku, menolak terangkat. Aku ingin bertanya
padanya, ‘apa yang terjadi? Apa yang berubah dari kita?’ tapi aku takut aku hanya akan mengganggu dan mengusik hidupnya yang di
atas awan itu. Barangkali memang dia seharusnya melupakanku dan aku tak perlu
nekat mendobrak pintu kehidupannya. Sebab aku kerdil, mudah sekali baginya
menyentil.
Aku ingin menutup tulisan ini dengan
desah napas yang lebih lega daripada sebelumnya. Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku
masih dalam ketakutan yang sama—mencekam dan mematikan. Betapa aku telah takut
kehilanganmu dan aku jadi memuakkan.
Yang paling menyedihkan adalah, aku
merasa bahwa kami hanya memperlambat perpisahan dan bukan memperbaiki keadaan. Aku
tersiksa dengan keadaan ini dan aku tidak bisa menyalahkan dirinya maupun
diriku sendiri. Apa yang salah? Apa yang keliru? Tapi, jawaban yang muncul
hanya keheningan kosong. Bertambah terus menerus, dan beruntun.
Aku merindukannya, aku
menginginkannya, dan segala hal yang pernah begitu indah dulu. Tapi, setelah
segala terlanjur ini, apa yang bisa kuperjuangkan, selain terus diam dan
menunggunya tak sibuk untuk menanyakan rasa sakit di dadaku?
Kopral, maaf karena pada akhirnya
kau masuk blog eksekusi ini. Aku butuh sesuatu untuk menceritakan perasaanku,
tapi kini; kau tak lagi ada. Aku tidak tahu apa kau orang yang tepat atau
cintaku hanya sedang sekarat.
Aku tetap mencintaimu; kamu lebih
dari bait-bait yang kutuliskan, lebih dari kegelisahan yang coba kukaburkan dan
tak ingin aku pikirkan. Aku tetap mencintaimu, meski pulangmu masih jauh lebih
rahasia daripada rinduku sendiri.
Aku tetap mencintaimu, Kopral.
Komentar
Posting Komentar