Aku Masih Sampah yang Sama

            Malam ini, kau dapat rindu dari seseorang yang berandai-andai dirinya telah berhasil melupakan satu wajah manusia. Seseorang yang kini hidup begitu jauh darimu, di suatu tempat yang tak akan tersentuh oleh radar ingatanmu. Kau tentu, mengenal dengan baik, siapa seseorang itu.

            Bagaimana kabarmu? Terbacakah surat terakhir yang aku kirimkan untukmu?

            Malam ini, tempatku dingin sekali. Dan ada beberapa lembar pena yang tintanya bocor ke mana-mana, lantas aku menggunakan tinta yang sama seperti yang pernah kuberikan padamu; untuk menuliskan surat ini. Barangkali kau bisa mengerti, barangkali aku bisa sedikit menyentuhmu, barangkali aku bisa tahu kabarmu.

            Aku sedang merindukanmu dan tak bisa berbuat apa-apa. Berbulan-bulan lamanya, aku terus menerus bertanya; apakah kau bahagia? Tapi, aku tidak beranjak dari tempat ini dan terus tergeletak menunggu mati. Aku tidak berani melakukan apa-apa, aku masih sampah yang sama.

            Apakah kau baik-baik saja? Apakah aku pernah kau ingat?

            Aku ingin menceritakan banyak hal padamu. Tentang betapa terjalnya takdir yang kuhadapi sekarang, kenyataan yang laten, sebuah pilihan apa boleh buat yang terpaksa kujalani saat ini. Kau mengenalku dengan baik, ‘kan? Jadi, maaf jika aku lebih memilih lenyap dan tidak menyisakan apa-apa yang bisa kau raih. Lenyap ini tak akan jadi senyap di hidupmu; aku selalu berharap aku tidak sepenting itu.

            Mengapa?

            Sebab aku tahu rasanya, saat orang yang penting bagi hidup kita, harus terpaksa kita relakan oleh karena hidup kita sendiri. Aku mengerti rasanya mencintai seseorang yang sampai kapanpun tak bisa kumiliki. Aku mengerti rasanya harus pergi saat satu-satunya hal yang kuinginkan adalah tetap tinggal.

            Jejak-jejakku akan seperti kembang api yang lepas landas, berisik, mencuat di angkasa, sebelum kembali hening dan kembali asing.

            Aku yakin kau bahagia.

            Iya, ‘kan?

            Tapi, ada satu hal yang sampai sekarang tak mampu aku yakini. Seperti pertanyaan-pertanyaan tolol apakah aku mampu melupakanmu atau apakah aku akan mampu menjani rindu ini selamanya. Jawabanku tergantung di awang-awang. Semesta meludahiku dengan cara membuatku mengingat satu wajah, satu senyuman, satu ingatan, satu kenangan, dan satu cinta yang sampai reinkarnasipun tak akan mampu aku raih.

            Katakan padaku, bagaimana caranya merelakanmu? Bagaimana caranya merelakan ketidakmampuanku meraihmu? Bagaimana caranya merelakan segala hal yang terpaksa aku lupakan sebelum sempat aku genggam?

            Kau adalah bentuk paling mungkin dari ketidakmungkinan; dan aku adalah kemustahilan termasygul untuk definisi memilikimu.

            Jangan marah jika kukatakan ini; tapi, tanpamu; aku tidak bahagia. Mengapa kau bisa iya? Aku tidak bisa rela, mengapa kau bisa?

            Tenang dulu, aku tidak tengah menyalahkanmu. Aku hanya sedang ... apa, ya? Barangkali aku hanya sedang menjelaskan pada orang-orang yang menanyakan alasanku pergi begitu jauh dan meninggalkan seseorang yang begitu ingin kurengkuh hanya untuk menjalani kehidupan yang lebih berantakan; lewat pertanyaan-pertanyaan itu. Sebab aku mulai muak pada suara mereka yang berbisik-bisik lirih dan bertumpuk-tumpuk. Membuatku sekarat, membuatku merindukanmu.

            Aku tunduk tanpa perlawanan kepada Tuhan dan menghormati sepenuhnya keputusanmu, tapi mengapa hanya pada diriku sendiri aku tidak mampu menyerah? Mengapa hanya pada diriku sendiri, aku tidak mampu memaafkan?

            Malam ini, kau masih mendapat rindu dari seorang pria yang tidak mampu melupakan, tidak bisa merelakan, dan masih dengan tololnya mencintaimu bahkan setelah semua yang dia lakukan padamu.

            Dia belum memaafkan dirinya sendiri, tapi dia masih tetap mencintaimu.


            Aku masih mencintaimu.

Komentar

What's most