Tiga Puisi Cinta yang Tidak Berisi Soal Cinta

I
Ada sesuatu yang berantakan di dadaku saat puisi ini ditulis
Seseorang bertanya padaku bagaimana aku memandang cinta; lalu aku membayangkan kopi terpahit yang bisa dibikin barista
Lalu seorang lainnya membahas bagaimana pahit menurutku; lalu aku menjawab betapa pahit jauh lebih manis daripada apapun
Lalu yang lainnya penasaran bagaimana aku bisa membandingkan keduanya; aku teringat burung yang bisa terbang namun bisa juga berjalan ke tanah
Mereka mulai marah sebab jawabanku yang kacau
Lalu kukatakan begini : “Mengapa kalian bertanya padaku ini?” Mereka menantangku balik : “Kau pernah begitu mengerti cinta dan mengaku memahaminya, ya!”
Aku tertawa. Tertawa. Tertawa.
Aku memandang cinta seperti kopi, seperti burung, seperti udara, seperti senja, seperti akua, seperti utopia, seperti ombak, seperti pantai. Yang jelas, caraku memandang cinta sama sekali berbeda dengan mereka
Dan mereka kebingungan sebenarnya apa yang tengah berusaha kukatakan
Padahal sejak awal aku tak menjelaskan apa-apa
Begitulah cinta bekerja, mereka hanya terlalu banyak bertanya


II
Lalu kau pergi dan aku meraih udara tempat kekosonganmu mengisi sembilan puluh persen hidupku
Kita manusia hanya hidup untuk mengosongkan segala isi yang paling penuh sekalipun
Hidup melulu kekosongan beruntun lalu mengeluh betapa menyakitkannya hampa tanpa pernah memahami seharusnya hampa justru tak merasakan apa-apa
Maka sesungguhnya, jauh lebih baik menangis dan patah hati daripada hampa dan menjalaninya
Kau masih pergi dan kekosonganmu masih mengisi hidupku
Aku tak akan menunggu apa-apa seperti aku tak lagi menangisi apa-apa
Kau mencintaiku, kah? Sebab aku iya.
Tapi kau pergi dan aku tak mengiyakan apapun
Maka kekosongan adalah takdir paling terjal yang bisa kusetujui daripada harus bersedih lantas mengamuk dan memberatkan langkahmu
Kau tentu saja tak tersisa lagi begitupun perasaanku
Kini aku yang tahu rasanya tapi tak bisa mendefinisikannya
Aku hampa


III
Seseorang mengirimiku puisi cinta dalam botol yang isinya mengatakan bahwa dia ikut bahagia melihatku bahagia
Aku menyobek surat itu menjadi 330 bagian, jumlah hari dia meninggalkanku, sebagai bukti bahwa aku tidak sebahagia itu
Bagi orang yang patah hati, puisi seperti bentuk penghinaan paling jahannam dan hina dina
Tak ada orang yang bahagia.
Dan kalimat barusan tak punya alasan sebagaimana kau juga tak punya alasan meninggalkan
Kebahagiaan hanya mimpi dan mimpi selalu jadi mimpi
Kau tak perlu lelah-lelah membuatnya nyata sebab mimpi laten menjadi mimpi
Tak perlu mendoakan aku bahagia lagi

Sebab aku memang tak ingin bahagia lagi

Komentar

What's most