Kita dan Waktu
Aku tidak pernah tahu bahwa patah
hati yang sempat lama kudambakan ternyata akan datang saat ini. Betapa ia
datang bersamaan dengan begitu banyak rasa sakit. Betapa ia datang karena
perubahan sikapmu, karena keegoisanku, dan karena idealismeku yang menganggap
bahwa menjadi sempurna lebih baik daripada yang menyenangkan.
Aku menulis ini dalam keadaan
frustasi; mengingat tak ada lagi yang bisa kukembalikan seperti dulu, saat
semua masih baik-baik saja, dan belum ada dia. Seandainya aku bisa memutar
waktu, menjadi beberapa minggu yang lalu, atau bahkan dua bulan yang lalu, saat
aku masih percaya bahwa apa yang aku dan kau rasa sama; cinta. Seandainya aku
bisa memutar waktu, aku akan meredam penuh keegoisanku dan mengabaikan harga
diriku. Seandainya aku bisa memutar waktu, aku tidak akan membiarkan dia masuk
dalam kehidupan kita.
Aku mulai mencintaimu, membiasakan
diri dengan kehadiranmu, dan mulai percaya padamu. Nyaman bukanlah kata yang
dapat didefinisikan, tapi setidaknya perasaanku sudah lebih jauh dari sekadar
nyaman dan tak ingin kehilangan kamu. Betapa aku mulai percaya diri dan
menganggap bahwa kau juga merasakan rasa yang sama. Betapa aku sering berpikir
bahwa kau mungkin memiliki debar sederu yang kurasakan. Betapa aku sering
merasa bahwa rindumu tak kalah dalamnya dengan milikku. Dan ... betapa aku bisa
salah. Betapa semua yang kurasakan hanyalah khayalan kosong yang muncul ketika
aku jatuh cinta dan lenyap begitu aku kembali ke kenyataan. Betapa kamu tak
pernah menganggapku seberarti aku menganggapmu.
Bagaimana aku tahu? Kehadirannya
sudah cukup bercerita tentang banyak hal, Sayang.
Pada akhirnya aku sadar bahwa aku
hanyalah pelarian tempatmu meletakkan segala kecemasan. Aku hanya tempatku
berkeluh kesah saat kamu tak tahu harus bercerita kepada siapa. Aku hanya
persimpangan jalan tempatmu istiraha sejenak sebelum akhirnya berjalan lebih
jauh lagi. Aku hanyalah satu dari sekian banyak pilihan.
Bukan salahku jika pada akhirnya aku
mempercayai ucapan lembutmu, bahkan hingga telak percaya bahwa apa yang
kurasakan adalah cinta. Bukan salahku karena pun, dengan ucapan sehalus itu,
tak ada yang mampu menolak kamu. Betapa gerak-gerikmu membuat semua tak mampu
untuk membencimu. Aku tidak percaya bahwa pada akhirnya gerak-gerik yang
membuatku jatuh cinta adalah sesuatu yang seharusnya tak pernah aku percayai.
Mudah bagimu menarik perhatian wanita, membuat mereka jatuh cinta, dan pada
akhirnya membiarkan mereka patah karena sadar bahwa mereka bukanlah yang kau
pilih.
Dan, dengan bodoh, aku telah menjadi
salah satu dari mereka.
Bagimu, aku hanya seorang bodoh yang
membiarkan dirinya tenggelam oleh rasa sakitnya sendiri. Aku—yang hanya satu
dari banyak pilihanmu—adalah seseorang yang larut dalam harapan yang ia
ciptakan dan kemudian membunuh dirinya sendiri. Kamu hanya tertawa di pinggir
kolam rindu; fatamorgana cinta buatanku, bahkan sampai tersenggal karena
terlalu bersemangat terbahak. Tolong, Sayangku, Kekasihku, Pria yang Tak Akan
jadi Milikku, apa yang bisa kau tertawai dari rasa sakit ini? Apa yang lucu dari
kesesakan yang aku rasakan?
Seandainya aku bisa mencegah
semuanya sejak awal, mungkin aku tak akan sesakit ini, sehancur, juga
seberantakan ini. Seandainya aku bisa mengendalikan permainan perasaan yang
pada akhirnya dimenangkan takdir, aku tidak perlu berlarut-larut dalam harapan
tak berujung itu. Aku tak perlu mencintaimu. Aku tidak perlu kehilangan kamu
bahkan sebelum sempat memilikimu. Aku tak perlu berharap hubungan kita yang tak
jelas juntrungannya ini akan berakhir membahagiakan. Seharusnya, tak perlu ada
apa-apa diantara kita. Sehingga sakit ini tak perlu menjauhkan kita.
Saat ini, biarkan aku sejenak
menangisi semua yang harus berakhir bahkan sebelum sempat terjadi. Biarkan aku
marah sejenak padamu, mendiamkanmu untuk waktu yang lama dan kamu akan
bertanya, ‘ada apa?’ seolah kita
baik-baik saja. Biarkan aku membencimu untuk sementara karena luka ini sangat
melemahkanku. Betapa aku bahkan bisa menangis hanya dengan menatap matamu. Aku
ingin menghindarimu karena terlalu sakit melihatmu tetap bahagia disaat aku
sedang mati-matian mengobati luka. Disaat kau masih sibuk dengannya, sementara
aku bahkan tidak mampu untuk merapikan kepingan-kepingan hatiku yang patah
karenamu.
Biarkan aku membencimu karena cinta
ini membuatku nyaris mati karena kehilangan jati diri. Biarkan aku menjauh,
sekalipun hanya padamu keakuanku bisa luluh.
Aku tidak pernah tahu bahwa patah
hati yang sempat lama kudambakan ternyata akan datang saat ini. Betapa ia
datang bersamaan dengan begitu banyak rasa sakit. Betapa ia datang karena
perubahan sikapmu, karena keegoisanku, dan karena idealismeku yang menganggap
bahwa menjadi sempurna lebih baik daripada yang menyenangkan.
Bodoh sekali. Siapa yang pernah mendambakan
patah hati?
Mnyt
BalasHapus