Hartini

            Kepulangan Hartini berarti kebahagiaan bagi kampung kami. Karena, kepulangan Hartini adalah baju-baju mahal, yang tidak akan ditemukan di pasar, kue-kue lembut yang entah mengapa terasa agak anyir tetapi sedap, dan pesta dengan Hartini yang akan bernyanyi semalaman suntuk. Bagi kami yang tinggal di kampung sepi nan miskin hiburan, kepulangan Hartini adalah kebahagiaan.

            Hartini pulang dua tahun sekali, pun tidak menentu. Ia merantau ke Jakarta, jadi artis, katanya. Hartini menyanyi dari satu panggung ke panggung lain dan masuk televisi. Kami yang tinggal di kampung minim listrik dengan penerangan yang masih didominasi lampu teplok ini tentu saja tak pernah benar-benar melihat Hartini di teve. Satu-satunya teve ada di kantor kelurahan, dan itupun memiliki antena yang tidak menuju arah tempat stasiun teve Hartini biasa syuting, begitu katanya. Tapi, kami sangat percaya bahwa Hartini berhasil menjadi seleb, atau artis, atau penyanyi di sana. Karena setiap pulang ia selalu menghibur kami, membawakan kami oleh-oleh mahal; yang tentu saja hanya mampu dibeli oleh seorang artis yang bayarannya tinggi. Kami percaya Hartini pasti jadi artis di ibu kota.

            Oleh karena itu, saat mobil sedan Hartini memasuki pekarangan rumahnya—yang sekarang jadi jauh lebih luas daripada sebelum ia jadi artis—kami semua bersorak sembari mengerubunginya. Anak-anak kecil dan ibu-ibu terutama. Anak-anak kecil mengharapkan kue-kue, dan ibu-ibu menginginkan daster-daster cantik yang bisa Hartini oleh-olehkan buat mereka. Hartini yang menyadari kedatangannya membuat bahagia orang satu kampung, membuatnya tersenyum lebar. Ia turun dari mobil, mengenakan rok lanjutan selutut, dengan kacamata hitam, dan sepatu tinggi. Rambutnya yang sebahu diwarnai pirang. Kepulangan Hartini ... kami satu kampung senang bukan main!

-

            Malam ini, kampung kami berpesta. Dia pelataran kantor kelurahan, kami semua warga kampung berkumpul sambil mengobrol.

            Hartini membagikan oleh-olehnya, menggelar makanan-makanan yang dibawanya dari ibukota. Warga kampung tampak bahagia. Hartinipun tak menanggalkan senyuman dari bibirnya yang tipis namun menawan itu.

            Sama dengan seorang pria, yang berumur 25 tahun, yang  berjalan mantap menuju pelataran kelurahan. Tekadnya bulat; ia akan mengungapkan perasaannya pada teman masa kecilnya itu, ia akan melamar Hartini.

            Kirjo—pria itu, sudah lama menyimpan perasaan ini untuk Hartini. Ia ingat dulu ketika ia masih di sekolah dasar, ia dan Hartini tak terpisahkan. Ia dan Hartini juga anak-anak yang lainnya sering bermain gundu, masak-masakan, atau kejar-kejaran sejak sehabis sholat ashar sampai nanti adzan maghrib. Sampai SMP, Hartini masih semenyenagkan ia di SD. Mereka masih menjadi sahabat dekat. Dan Kirjo sadar bahwa perasaanya sudah tumbuh lebih dari sekadar sahabat.

            Tapi, Kirjo terus memendamnya, menyimpan perasaannya sampai lulus SMA dan Hartini memutuskan untuk pergi ke Jakarta dalam rangka mengejar mimpinya menjadi artis. Kirjo membiarkan gadis itu pergi, sembari terus menyimpan rindu di gelambir-gelambir hatinya, senantiasa mendoakan gadis itu agar terus baik-baik saja dan bahagia dalam mengejar mimpinya. Bersama dengan itupula, Kirjo bekerja di sawah milik bapaknya, sembari mengumpulkan pundi-pundi uang untuk melamar Hartini. Tapi, ketika bapaknya meninggal dan sawah itu diwariskan untuknya, ia memilih menjualnya dan membuat sebuah warung kopi. Warung kopinya cukup ramai, dan dengan hasil usaha warung kopinya itulah ia merasa mampu untuk melamar Hartini dan menghidupinya. Ia tahu mungkin mimpinya ini akan kejauhan, tapi Kirjo tahu selalu ada harapan.

            “Hartini!” Kirjo memanggil gadis yang tengah dirubung ibu-ibu minta diceritakan pengalamannya menjadi artis. Hartini menoleh, begitu mendapati Kirjo ia langsung berdiri dan menghampiri pria itu. Setelah sebelumya memohon pamit pada ibu-ibu tersebut.

            “Kirjo, apa kabar?” tanya Hartini sambil tersenyum. Ia bahagia melihat sahabat masa kecilnya ini. Dan, betapa Kirjo bertumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat tampan.

            “Baik, Hartini. Kamu sendiri? Baik juga, tho ... wong jadi artis kok masak nggak baik-baik saja?” gurau Kirjo. Hartini terkekeh. Tapi kemudian, gadis itu merogoh kantong jaketnya dan mengambil benda persegi panjang dan menyalakannya. Wajahnya berubah menjadi tak terdefinisikan.

            Kirjo bertanya, “Ono opo, Tin?”

            “Kirjo, mau antar saya ke dekat pasar nggak?” Kirjo mengernyit heran.

            “Kamu mau beli apa? Pasar jam segini udah tutup, tho, Tin ...”

            “Enggak, Kirjo, saya mau cari sinyal HP, saya harus telepon seseorang.” Terang Hartini sambil menggoyang-goyangkan ponselnya berusaha mencari sinyal.

            “Pacar kamu, Tin?”

            “Bukan. Rekan kerja saya. Yuk, keburu malam!”
-

            “ ... iya, Oom, Tini lagi di kampung. Lusa baru pulang. Maaf, ya ... sama yang lain bisa, ‘kan, Oom?”

            “ ... yaudah, Oom. Sekali lagi maaf, ya? Selamat malam.”

            Hartini mengakhiri panggilannya dengan helaan napas berat. Ia teringat ceritanya dengan ibu-ibu tadi, bagaimana ia menjadi artis, bagaimana ia menjadi terkenal ... dan cerita bohong lainnya. Ia tidak benar-benar menjadi artis. Ia bukan artis.

            Hartini kembali ke depan pasar, ke kursi panjang milik salah satu toko kelontong yang sudah tutup—tempat Kirjo menunggunya. Kirjo duduk di sana sambil menghisap kretek miliknya.

            “Sudah?”

            “Sudah.”

            Kirjo masih sibuk dengan kreteknya sementara Hartini memainkan ponselnya. Menggeser menu tanpa melakukan apa-apa dengan alat komunikasi itu. Mereka berdua berendam dalam keheningan.

            “Hartini, bagaimana Jakarta?” tanya Kirjo tiba-tiba. Hartini sontak menengok ke arah pria itu. Mengernyitkan dahi.

            “Ya ... seperti itu. Memang kenapa?”

            “Tidak, saya penasaran. Apa sih yang menarik dari kota itu sampai membuat kamu begitu betah dan rela meninggalkan kampung ini.” Kirjo menyesap kreteknya untuk yang terakhir lalu membuangnya tepat di bawah kaki dan menginjak puntung itu.

            “Ah, tidak semenarik itu, kok, Jo. Kampung ini juga nyaman dan menyenangkan. Terlebih ketika aku pulang seperti ini, mereka tampak semarak dan bahagia sekali.”

            “Kalau begitu mengapa kamu tidak pulang dan menetap?” ujar Kirjo. Kali ini, sambil menatap dalam mata Hartini.

            “Mana mungkin lah, Kirjo ...”

            “Saya mau Hartini.”

            Hartini bergeming. Ia membalas tatapan mata Kirjo, mencari-cari sesuatu di sana.

            Hartini menemukan itu.

            “Saya mau kamu menikah dengan saya. Saya berjanji saya bisa menghidupi kamu. Saya punya warung kopi dan penghasilan saya lumayan. Kamu tidak perlu bekerja ... saya bisa ... saya mencintai kamu, Hartini.”

            Hartini menatap Kirjo tidak percaya. Ini aneh. Ini terlalu cepat. Dan ini terlalu tidak mungkin.

            “Saya yang tidak bisa, Kirjo.”

            Kirjo merasakan suasana mendadak tidak menyenangkan. Aroma kehilangan meruap begitu tajam, menggelitik hidungnya. Betapa rasa sakit itu kini begitu dekat.

            “Saya tidak pantas buat kamu. Saya ... tidak sebaik yang dipikirkan orang-orang.”

            “Karena kamu artis dan saya hanya pemilik warung kopi?”

            “Bukan seperti itu, Kirjo.”

            “Lalu seperti apa?”

            Hartini terdiam. Dia tidak menyangka bahwa Kirjo yang selama ini ia anggap teman kecilnya ternyata memiliki perasaan yang lebih dalam daripada sekadar teman. Ia tidak menyangka bahwa Kirjo mencintainya.

            Hartini menggigit bibir, menahan air matanya agar tak mengalir.

            “Saya tidak pantas buat kamu.”

         Kirjo berdiri dari samping Hartini. Ia meraih kotak rokok dan mengambil sebatang. Menyalakannya dan menyesapnya.

            “Jadi, kamu menolak saya?”

            Hartini masih bergeming bahkan sampai Kirjo berjalan meninggalkannya sendirian. Hartini tidak peduli pada apapun saat ini. Sekelebat bayangan orang tuanya yang sangat membanggakannya, warga kampung yang sangat bahagia karena mengira bahwa ia betul-betul menjadi artis di ibukota, dan Kirjo yang ternyata diam-diam mencintainya.

            Hidupnya menjadi berat sejak di ibukota—tak semenyenangkan yang diceritakannya pada semua orang. Menjadi simpanan seorang wakil rakyat dan menjadi seorang pegawai di tempat prostitusi memang membuatnya kaya, tapi hatinya menjadi kosong. Ia kehabisan cara untuk mengatakan pada semua orang tentang kenyataan yang sebenarnya. Kebohongan menyelamatkannya dan sejauh ini begitulah yang dijalaninya.

            Hartini terdiam menikmati rasa sakit. Betapa ia tidak bermaksud menyakiti siapapun; bahkan Kirjo. Ia hanya tidak ingin Kirjo mencintai dan dicintai seorang yang kotor seperti dirinya.

-

            Saat Kirjo kembali ke pelataran kantor kelurahan, Hartini tak mengikuti bersamanya. Kirjo duduk dengan tatapan menerawang, bersama sendu yang mulai mendominasi suasana hatinya. Ia mengabaikan tatapan warga kampung, juga pertanyaan-pertanyaan mereka perihal di mana Hartini. Kirjo menyepi, ia berjalan menuju belakang kantor kelurahan. Bersandar pada tembok dan memejamkan mata. Kirjo merasa kosong.

            Sewaktu dengan itu, Hartini tak bergeming dari tempatnya duduk. Pasar kampung ini sepi, tapi sepi di hatinya lebih pedih dari itu. Ia menundukan kepala. Ponsel yang sejak tadi digenggamnya ia letakkan di sebelahnya. Bahkan tangannya terlalu lemah untuk menggenggam benda yang ringan itu. Hartini merasa matanya basah; entah oleh air mata kesedihan atau rasa bersalahnya. Dadanya sesak luar biasa. Jika kepulangannya bagi kampung ini adalah kebahagiaan, maka baginya adalah kesedihan, rasa sakit, dan kepedihan yang tak berujung. Rasanya masih sama, bahkan ketika ia memutuskan bahwa kepulangannya kali ini akan menjadi yang terakhir.

-

            Kepulangan Hartini berarti kebahagiaan bagi kampung kami. Karena, kepulangan Hartini adalah baju-baju mahal, yang tidak akan ditemukan di pasar, kue-kue lembut yang entah mengapa terasa agak anyir tetapi sedap, dan pesta dengan Hartini yang akan bernyanyi semalaman suntuk. Bagi kami yang tinggal di kampung sepi nan miskin hiburan, kepulangan Hartini adalah kebahagiaan.

            Dan, masih akan menjadi kebahagiaan meski saat ini Hartini tak pernah lagi pulang. Setahun, lima tahu, dan sepuluh tahun.

            Hartini tak pernah pulang lagi.

Komentar

What's most