Kamu Tak Berhati
Hujan turun kecil-kecil saat aku menulis ini. Merekatkan
kembali harapanku yang berserakan di tanah, mengembalikannya pada sudut hatiku.
Tempat terpencil; di mana satu-satunya orang yang boleh memasukinya adalah
kamu.
Jika seseorang menanyakan padaku tentang apa yang
kuketahui tentangmu, maka aku akan berkelakar tentang banyak hal; tentang kamu.
Mengoceh panjang lebar perihal semua yang aku paham benar. Tentu, apa yang
tidak kuketahu tentangmu? Atlet futsal, pria sibuk dengan segudang kegiatan yang membuatku
kadang tak paham tentang bagaimana caramu membagi waktu. Kamu adalah sosok yang
begitu mudah dikagumi, sungguh. Tanyakan pada sejuta wanita di luar sana, hanya
seratus ribu yang akan bilang bahwa kamu adalah pria biasa. Dari semua yang ada
pada dirimu, yang melekat kuat pada dirimu adalah; bagaimana caramu membuatku
nyaman, dan membuatku memiliki perasaan lebih dari sekadar teman.
Benar, Kekasih yang Tak Sempat Kumiliki, perasaanku sudah
tumbuh lebih jauh dari pada itu—yang mungkin saja tak seperti dugaanmu. Kamu
mungkin tak tahu betapa menggunakan satu headset
berdua menjadi hal paling romantis yang pernah kutemui di dunia ini, juga tak
akan menyangka betapa perhatian sederhana yang kamu berikan mampu membuat
hatiku meleleh, melebur bersama pesan-pesan singkat yang kamu kirim. Kamu juga
tak akan mengira bahwa kedekatan kita—yang mungkin bagimu saja—mampu membuatku
berharap lebih jauh padamu. Lebih jauh dari sekadar ucapan-ucapan rindu yang kamukirim,
lebih dalam dari bisikan-bisikan sayang yang kamukatakan, dan jauh dari semua
sekadar yang kamuberikan. Kamu tidak akan tahu, bahwa aku; yang kamuanggap tak
lebih dari teman curhatmu, telah menyimpan keinginan memiliki berlebihan pada
sosokmu.
Tentu, bagaimana mungkin seseorang yang hatinya masih
tertutup masa lalu akan tahu bahwa ada seseorang, yang hanya dianggap teman;
telah diam-diam menyimpan perasaan? Bagaimana mungkin kamu akan tahu tentang
perasaanku jika sosok mantan kekasihmu itu masih saja menghiasi seluruh sudut
hatimu, mengitari pikiranmu, dan masih mampu membuatmu rindu?
Rindu. Rindu. Rindu.
Sialan, tahu apa kamu soal rindu? Kalau kamu memahami
benar kata itu, kamu tentu tidak akan menjadi buta dan mengabaikanku. Kalau kamu
mengerti pasti bagaimana kangen itu sanggup membuat hatimu terasa seperti
diremas, jantungmu diiris-iris, dan matamu menjadi panas. Bukan karena ingin
menangis, tapi karena kamu sudah terlalu tidak mampu untuk menahan segalanya
sendirian. Bahwa kamu terlalu sibuk untuk sekadar mengerti bahwa di sudut hati
ini, di tempat di mana semuanya menjadi magis untuk ditelusuri, telah terbentuk
bayangmu di sana. Bayang-bayang yang abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh. Apa
yang bisa kulakukan saat melihat sosokmu semakin jauh? Bagaimana cara
mencegahmu pergi, saat aku sadar bahwa aku tak punya hak apa-apa untuk
melakukannya?
Mungkin ini terlalu sulit, mungkin juga ini akan menjadi
yang paling tidak mungkin untuk aku lakukan; tapi, apakah masih ada kemungkinan
bagiku untuk menggantikan dia—masa lalumu yang tak bisa memberimu apa-apa?
Padahal, aku hanya ingin memelukmu sehangat rembulan yang
tiba-tiba muncul di bulan Januari. Aku mau menjadi tempatmu sibuk berkesah
tentang dia—yang tak mampu membuatmu bahagia, tapi selalu membuat jatuh cinta;
jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku ikhlas menjadi tempatmu menyandarkan semua lelah,
menyediakan telinga untuk mendengarmu mengeluh, dan memberi lengan untuk
membawamu dalam rengkuhan saat kamu merasa kelelahan dan sendirian. Keinginanku
sesederhana itu. Apakah terlalu berlebihan buatmu?
Biar, katakan saja kamu ini delusional. Bilang saja bahwa
kamu akan seperti London Eye bagiku yang takut ketinggian. Bilang saja bahwa kamu
akan seperti museum Louvree bagiku—yang tak tahu apa-apa tentang seni dan hanya
tahu bahwa ada Monalisa di sana. Bilang saja kamu akan tetap menjadi teka-teki
yang masih punya begitu banyak jawaban, puisi yang punya banyak tafsir, bahasa yang
punya banyak arti—bilang saja. Aku tidak peduli meskipun sosokmu akan selamanya
menjadi ilusi, aku akan terus membiarkan hati ini mencintaimu. Meski itu
berarti tak akan menjadi kita selamanya, aku tidak peduli.
Atas nama ketidakmungkinan; aku mencintaimu.
Dari seseorang,
yang sanggup
menampung semua keluh kesahmu tentang masa lalu;
asal tidak kehilangan kamu.
Komentar
Posting Komentar