A Long Night With You

Warning :
This story contains some mature scene. Before read, you should check your ID. Trust me, it will be adult-story.


            Bisingnya malam ini menghidupkan makna sebuah kebebasan. Sebuah bukti pelepasan diri; entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk. Tidak akan ada yang peduli. Yang mereka perlukan saat ini adalah kebebasan, kesenangan, dan apapun yang disebut sebagai nikmat dunia. Degup jantung seirama musik mahakarya disc jokey. Malam ini, mari berpesta. Dengan bergelas-gelas alkohol, berlomba-lomba bercumbu dengan marijuana. Pelarian, begitu mereka menyebutnya. Kabur sejenak dari kenyataan yang tidak berpihak, mereka hanya butuh tempat untuk bebas menjadi tuli, pada realita yang menjerit minta diakui.

            Bicara soal realita, mereka berdua yang berada kamar 271 tengah mengabaikan itu. Mereka bercumbu, persetan dengan pekikan-pekikan musik yang seolah mengundang siapapun untuk turut sekadar menggerakan kepala. Mereka berdua sama seperti dengan pengunjung diskotik di seberang hotel. Bedanya, mereka menari di atas kasur empuk. Menggeliat. Sama seperti retorika di penghujung malam, mereka menari dengan pujian—berupa bisik, di cuping telinga masing-masing. Bak api yang membara, mereka membakar gelora cinta yang tumbuh; tak hanya sekadar hati, tubuh polos mereka juga menyatu dalam rengkuh masing-masing. Ini lebih dari sekadar romantis, kala ciuman tak hanya sebagai ungkapan kasih sayang, juga sebagai pembuktian diri bahwa mereka saling memiliki. Membabi buta dibalik selimut, bisikan sayang itu menjelma menjadi desahan yang bebas, kemudian berubah menjadi jeritan kecil yang teredam, dan pekikan yang ditahan oleh ciuman sebagai tanda kepemilikan. Desah panjang itu kemudian membawa mereka pada satu tujuan, sebagai pemberhentian, atau sebagai bel yang memaksa mereka untuk berhenti barang sejenak dua jenak.

            Mereka berdua berhasil memiliki dunia, pun surga-surganya.

            “Gue nggak nyangka Bokap semudah itu ngeizinin lo dateng ke sini, sendiri.” Ray menghembuskan asap rokoknya ke arah muka Alia, membuat gadis itu sontak terbatuk-batuk. Ray tergelak, sementara Alia mengerucutkan bibirnya untuk menunjukan kemarahannya childis-nya.

            “Nggak usah pamer bibir gitu, abis lo sama gue.” Kata Ray, sembari menyesap linting tembakau itu. Alia mengendikan bahunya, lalu mengaduk jus stroberi yang tampak menggiurkan tapi tak menarik perhatiannya sama sekali. Pemandangan di hadapannya, Ray dengan kaus tak berlengan warna hitam dan celana jeans pendek selutut tampak lebih sedap. Hot and sexy. Membuat Alia ingin segera mengusaikan makan malam mereka, dan kembali ke kamar hotel untuk menghabiskan hidangan penutupnya.

            “Alibi jalan-jalan bareng lo memudahkan segalanya, Ray,” ujar Alia. Kali ini sembari menarik bungkus rokok milik Ray, tapi segera dicegah pria itu. Tangan besarnya menyingkirkan jemari mungil Alia, meremasnya sejenak lalu menyingkirkannya dari bungkus rokok itu. Ray mengambil bungkus rokoknya dan menyelipkannya di saku celana.

            “Fuck. Nggak usah ikut-ikutan Papa larang-larang gue ini itu, deh!” tukas Alia lalu melipat kedua tangannya di dada.

            “Yaelah, Ya, daripada lo ngerokok Marlboro gue ini, mending lo ngerokok guenya langsung,” Ray menyesap rokoknya, lagi-lagi menghembuskan asapnya ke wajah Alia. Tersenyum miring; memasang ekspresi nakal.

            “Anjing.”

            “Iyalah, Ya, lo itu harusnya diciptakan cuma buat gue doang. Tapi, Tuhan nggak sebaik hati itu buat jadiin lo cuma jadi milik gue aja—gak yang lain.” Ujar Ray. Manik matanya menatap tajam ke arah mata Alia yang memiliki warna sama dengan miliknya. Lalu, matanya menyusuri setiap lekukan wajah tirus Alia, dan mengagumi betapa Tuhan telah menciptakan pahatan surga serupa bidadari di sana.

            Ray tidak pernah bisa menghentikan diri untuk mengagumi gadis itu—Alia Sudharsono. Gadis berperawakan mungil, dengan rambut agak berombak sebahu. Ia tidak tahu sejak kapan perasaannya pada Alia berubah dari sekadar sayang menjelma menjadi cinta yang tak terdefinisikan. Dan, bagaimana kemudian gelora cinta itu bertumbuh semakin liar, menjadi-jadi, dan pada akhirnya berakhir di ranjang setiap malam. Ray tahu ini salah, tapi dia juga tidak bisa menahan hasratnya lama-lama. Sulit berdamai dengan keadaan saat ini, terlebih menyangkut Alia.

            “Ya, milik lo doang. Meskipun istri lo bakal marah kalau tahu kita ngapain aja malem ini—“

            “Sampe besok pagi.”

            “Lo semangat amat,” tukas Alia.

            “Yaiyalah. Gue udah nahan ini lama-lama, loh. Dan saat kita dapet kesempatan ini, free hotel room sama lo doang. Nikmat Tuhan mana lagi yang harus gue dustakan, Ya?” Ray menyesap rokoknya—lagi-lagi, tapi tanpa menghembuskan asapnya ke arah Alia. “Jakarta-Jogja emang nggak begitu jauh, tapi setelah kita terbiasa melakukannya setiap malam, dan gue dipaksa buat gak melakukan itu selama setahun lebih itu terang sulit, Ya.”


            “Ya udah, lah, Ray ...” Alia menyesap jus stroberinya. “Kita dapet kesempatan seharian buat bareng, gue gak mau suasananya jadi gak enak gini.”

            “Balik ke hotel aja, yuk, Ya?” Ray mematikan rokoknya di asbak.

            “Udah kenyang?”

            “Enggak juga, sih. Cuma gue harus sediain bagian kosong buat menikmati hidangan penutupnya ini.”

            Alia dan Ray tergelak kompak, sejenak melupakan dunia yang melirik sinis pada mereka. Mengabaikan berbagai hal untuk menghabiskan waktu berdua saja; karena mereka tahu semua pasti akan kembali baik-baik saja.

---

            Alia usai mandi. Masih dengan rambut basah, mengenakan kaus oblong milik Ray yang jelas kedodoran tanpa celana, duduk di atas kasur. Ray sibuk berbaring di kasur sambil mengotak-atik gadget-nya. Alia melirik sekilas ke arah Ray, lalu mendekat ke arah pria itu dan berbaring di sebelahnya. Alia menjatuhkan kepalanya di dada bidang pria itu.

            “Aku baru makan sama Alia, kamu habis ini tidur terus istirahat. Love you,” Alia membaca pesan yang dikirimkan Ray yang ditujukan pada istrinya, Fanya.

            Ray tersenyum, meletakkan ponselnya di meja kecil di samping ranjang, lalu memeluk Alia. “Love you, too, my little sisty.”

            Mata Alia terpejam. Ia menikmati hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Ray membawanya dalam rengkuhan. Baginya, malam ini lebih dari sempurna. Bersama dengan Ray yang selama ini dirindukannya. Persetan dengan waktu, persetan dengan keadaan. Bersama Ray ia yakin bahwa jika ia bisa melewati semuanya; sesakit apapun itu. Persetan dengan istri Ray, persetan dengan ayahnya. Bersama Ray ia bisa tidak mempedulikan apapun.

            “Setelah lulus kuliah lo mau ke mana, Ya?” tanya Ray, sembali mengelus lembut kepala Alia.

            Alia membuka matanya, “Gue pengen sama lo aja. Pengen hamil dari benih lo, tinggal sama lo, punya anak dari lo, dan gue hidup bahagia selamanya.”

            “Kita doang yang bahagia, kita bakal menyakiti yang lainnya.”

            “Kayak lo peduli perasaan orang lain aja, Ray?”       

            “Bokap ... dia bukan orang lain, Ya.”

            Alia terdiam cukup lama begitu mendengar ucapan Ray. Ingin rasanya ia menangis, tapi ia paham benar bahwa air matanya adalah sesuatu yang sama sekali tak ingin Ray lihat.

            “Gimana perasaan dia kalau tahu dua anaknya menjalin incest? Dia jelas bakal lebih tersakiti, Ya, lebih dari kita saat ini.”

            Alia masih terdiam.

            “Lagipula, gue punya istri. Gue gak mau nyakiti Fanya lebih parah lagi,” Ray menghela napas. “Dan yang terutama, lo masih adik gue, Ya. Gue gak mau ngerusak lo dengan hubungan terlarang ini. Lo harus hidup normal, Ya.”

            Alia terdiam, meresapi tapi juga menolak kata-kata yang diucapakan Ray. Rayyan Sudharsono, kakak kandungnya. Sudah setahun lebih dia mencoba mengerti, tapi tak ada satupun yang bisa ia pahami. Tentang takdir yang tak pernah berhasil ia definisikan, tentang cinta yang tumbuh tidak pada tempatnya. Teka-teki semacam ini—entah kenapa, selalu sanggup membuatnya jatuh berkali-kali. Tapi, selama ini, Ray selalu menangkapnya. Dan, ketika Ray seolah mengucapkan perpisahan yang tegas seperti ini, siapa yang akan menangkapnya jika ia terjatuh lagi?

            “Do people falling in love with things they can’t have?” tanya Alia, dengan suara bergetar. Ia menyadari bahwa air matanya sudah turun sebutir.

            “To be honest, Ya, what I have with you, I don’t wanna with someone else. Gue juga sama kayak lo, sering berontak sama takdir yang nggak berpihak. Tapi, manusia sekerdil gue, bisa apa?”

            “Lo kerdil tapi ganteng kok, Ray.” Alia terkekeh; getir. Ray mengeratkan pelukannya, mendekatkan tubuhnya lebih dekat pada Alia. Saat ini, Ray hanya ingin lebih lama lagi memeluk Alia. Karena setelah ini, tak akan ada saat-saat seperti ini lagi. Ia akan melepaskan Alia untuk hidup tanpa bayang-bayangnya lagi. Setelah hari ini, semuanya akan selesai. Perpisahan sudah menanti, melambai-lambai menunggu ditapaki. Hari-hari tanpa satu sama lain sudah ada di depan mata mereka.

            Ray mendaratkan ciuman lembutnya ke bibir Alia. Sebelum perpisahan itu tiba, Ray akan menciptakan malam yang tak terlupakan buat mereka. Malam ini akan menjadi malam yang panjang.

            Malam yang sangat panjang.


I will always have this impossible little hope
that you'll suddenly wake up one day
and realize we're meant
to be together.
- Anonym

Komentar

What's most