Sosok yang Masih Kucintai

Untuk pria yang menghentikan perputaran dimensiku.

Aku masih duduk di sini, tempat kita bertemu untuk terakhir kalinya-waktu itu. Sebuah bilik kecil di perpustakaan kota--tempat favoritku karena ia satu-satunya yang dekat dengan jendela. Aku duduk di sini sejak dua jam yang lalu, dan selama itu pula kuhabiskan waktu untuk mengenangmu. Aku kembali membuka luka lama yang sempat kukubur dengan tulisan-tulisanku. Aku kembali membukanya; dan membangkitkan kenangannya.

Beberapa waktu yang lalu, kamu masih di sini, dan kita masih bisa tertawa bersama. Kamu masih bersamaku, dan kupikir itu adalah sedikit isyarat darimu bahwa kau tak akan meninggalkanku. Aku masih bisa menghirup aroma wangimu yang memabukkan. Aku masih bisa membantumu mengusaikan tugas Bahasa-mu, dan kamu membantuku mengerjakan Sejarah. Beberapa waktu yang lalu, semua masih sama. Beberapa waktu yang lalu, belum ada luka.

Lalu, seperti biasa, Tuhan membolak-balik takdir dalam waktu yang tiada kuduga cepatnya. Secepat itu, dan berakhir dengan sesakit itu. Ketika akhirnya kamu memilih pergi tanpa memberiku waktu untuk bersiap kehilangan kamu, aku sadar bahwa aku terluka parah. Rasa sakit karena kehilangan kamu ini mulai menyiksaku. Dan aku, mulai kehilangan arah karena satu-satunya cahaya penujukku telah pergi meninggalkanku.

Kepergianmu meninggalkan luka yang menganga. Kepergianmu meninggalkan hatiku yang remuk redam.

Sayang, aku tak mencoba menyalahkan apapun. Aku tak akan menyalahkan takdir, menyalahkan jarak yang menjauhkan kita, atau menyalahkan kepergianmu yang tiba-tiba. Tapi, bisakah kauberi sedikit saja aku alasan? Mengapa kaupergi tanpa mengucap kata pisah? Mengapa kaupergi tanpa memberiku kesempatan untuk tahu perasaanmu? Mengapa kau pergi saat aku sedang dalam kondisi sangat mencintai kamu?

Ketahuilah, Kekasihku, sejak pertama kali kaubisikan cinta tepat di telingaku, aku mulai berharap banyak. Aku mulai ingin memperjuangkanmu dan tak ingin menyia-nyiakan kebersamaan kita. Aku mulai disandera oleh banyak ketakutan yang semakin hari semakin tak kumengerti. Aku mulai mencintaimu, dan jujur saja perasaan itu sangat mengganggu hari-hariku. Aku tak bisa fokus pada hal lain selain kamu juga tak bisa berkonsentrasi pada rumus-rumus Fisika dan Matematika jika aku tak menemukanmu di kelas kita. Perasaan-perasaan yang mengerikan itu semakin lama semakin banyak dan semakin menakutkan. Kau tahu, Sayangku, sejak mencintaimu aku sama sekali tak bisa berfikir jernih. Aku tak bisa menggunakan akal sehatku bahwa kenyataannya berlian sepertimu tak akan pernah mencintai kerikil kali sepertiku.

Dan, seperti biasa, semua berakhir tragis. Semua tak berjalan seperti yang kuinginkan, bahkan sangat jauh dari harapanku. Pada akhirnya kamu memilih pergi dengan emas, sosok yang sepadan dengan berlian sepertimu. Tinggal aku yang tergolek lemah sendiri di sini, menangis dalam diamku.
Sayang, ini entah sudah bulan ke berapa sejak kepergianmu, tapi rasanya masih sama. Luka yang kautoreh juga bekasnya masih terasa. Dan kini, pipiku basah entah oleh apa. Tolong, jangan bilang ini air mata karena sampai kapanpun kau tak akan mengerti rasa sakitku.

Aku menutup bukuku, mengusaikan semuanya sebelum kenangan itu merajaiku dengan lebih gila lagi. Aku bangkit berdiri sebelum luka itu melemahkanku lebih dari ini. Aku berjalan keluar perpustakaan, tapi sebelum itu, aku melakukan satu hal yang membuatku kembali mengingatmu.

Aku mengapus air mataku.

Ah, ternyata memang benar ini air mata.

Dari seseorang,
yang lemah karena mencintaimu.

Komentar

What's most