Tetaplah Seperti Ini Dulu
Suara malam yang dingin ... dan
bising.
Aku mengerti, ketika pada malam itu
kau bilang padaku mengenai sebuah lagu, Perempuanku, kau sesungguhnya tengah
mengirimkan isyarat padaku bahwa kau tengah merasakan kebimbangan yang sama;
bahwa kita mungkin saja tidak bisa seperti ini selamanya. Bahwa kelak di satu
saat yang entah kapan, kita akan saling melupakan, dan kita dipaksa siap. Aku
mengerti bahwa kau setakut aku, aku juga mengerti bahwa kau takut meninggalkan
aku, tapi aku juga tidak bisa berbuat apapun.
Karena bagiku, kau terlalu berharga.
Kau terlalu utuh untuk aku yang separuh. Dan aku tidak bisa terus
mengharapkanmu dengan kecacatanku ini.
Walau aku tahu itu adalah sebuah
kepastian, aku tetap tidak ingin kau jatuh cinta pada orang lain.
Perempuanku, ada satu kenyataan yang
selama ini aku sembunyikan. Pengakuan : aku menyukaimu. Sekali, sangat suka sampai rasanya
menyakitkan. Sangat ingin walau aku tahu kau adalah segala definisi mengenai
tidak mungkin. Aku sangat menyukaimu, Perempuanku, sejak pertama kali, perasaanku
tidak berubah.
Andai kau mengerti mengapa aku begitu
takut. Mungkin kau akan mengerti mengapa untuk perasaan yang satu ini, aku
tidak bisa berbuat banyak. Kita terlalu dekat dan seringkali tidak ada ruang
untuk cinta itu bergerak. Kita terpenjara dalam dinginnya pertemanan yang
dangkal seperti ini, pertemanan yang tidak berhenti saling menyakiti; hanya
karena kesemuan semata bahwa aku menolak mengaku bahwa aku jatuh cinta.
Maaf, aku benar-benar minta maaf. Maaf
untuk ratusan hari yang kau habiskan untuk menangisku, maaf untuk ratusan—bahkan
ribuan hari yang kau buang sia-sia untuk mengerti rumpangnya aku, maaf karena
aku tetap bungkam bahkan setelah semua itu. Maaf karena aku bahkan tidak
meminta izin untuk mencintaimu.
Perbincangan-perbincangan kita,
mimpi-mimpi tolol yang pernah kita bagi setiap malam, ketakutan-ketakutanku,
dan semuanya; aku ingin kau terus menyimpannya dan terus duduk di situ, di
sampingku, jangan pergi. Aku ingin kita tetap seperti ini, sampai waktu yang
tidak ditentukan, sampai aku yakin melepaskanmu akan terasa aman; walau matipun
tak akan itu terjadi. Aku ingin sampai mati kita tetap seperti ini. Apa terlalu
berlebihan?
Andai, andai bisa kujelaskan padamu,
mungkin akan ada satu alasan yang menahanmu untuk tidak pergi.
“Apa sih, memangnya aku akan pergi
ke mana?” ujarmu, waktu itu, sambil minum teh tawar hangat di warung sepi
pinggir kota yang menghadap jalanan lenggang menuju Tembalang.
“Nggak ... siapa tahu, kan.” Aku terdiam
dan bersyukur. Iya, saat ini kau masih di sini. Walau aku telah meninggalkanmu
berkali-kali, walau aku telah menyakitimu berkali-kali, kau tetap keras kepala
dan tidak pergi. Iya, saat ini kau masih di sini.
Kau melanjutkan minum teh sedangkan
aku melanjutkan berpikir. Aku ingin memelukmu. Aku ingin merengkuhmu seperti
caramu merawat buku-buku favoritmu. Kau pajang di meja belajar, tak kau biarkan
berdebu, kau susun rapi. Aku ingin memelukmu seperti caramu belajar saat tengah
malam, dengan kesabaran maha tabah, walau mata dan tubuhmu nyaris remuk, tapi kau
tahu ada yang sedang kau perjuangkan. Aku ingin memelukmu seperti caraku mencintaimu,
diam namun tanpa pikir panjang. Tapi juga takut dan pengecut. Aku ingin
memelukmu dengan aneka rasa tanpa suara.
Aku ingin bersamamu, aku ingin
melangkah dengan kau yang ada di belakang. Meski kelak takdir hanya akan
membuat kita berpisah, tetaplah seperti ini dulu, sekuat aku, sekuat kamu. Mungkin
kita akan betulan bertemu.
Komentar
Posting Komentar