Percakapan di Tengah Hujan : Tentang Tujuan Pernikahan


            Pada suatu percakapan di tengah-tengah kota Semarang yang sedang diguyur hujan, salah seorang teman saya tiba-tiba mencetus suatu kalimat yang kemudian membawa kami pada sebuah diskusi panjang mengenai pernikahan.

            “Teman-teman aku pada mau nikah sebelum umur 25, mereka beranggapan 25 tahun itu sudah tua banget untuk menikah bagi perempuan.” Kata teman saya, yang sekarang masih menjadi mahasiswi Ilmu Gizi di suatu perguruan tinggi.

            Saya terdiam lama sebelum menjawab, “Ah, apaan sih nikah kok diukur-ukur lewat umur.”

            Teman saya yang saat ini sedang menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi di sebuah perguruan tinggi menimpali, “Walaupun aku sendiri tidak memiliki patokan umur mengenai pernikahan, tapi entah kenapa banyak ya perempuan yang berpikiran seperti itu.”

            Kemudian teman saya yang mahasiswi Ilmu Gizi itu menjawab, “Sebenarnya kalau teman-teman kampusku mematok umur sekian untuk menikah, aku paham sih kenapa. Karena menurut kesehatan itu, disarankan ketika umur 30 tahun, kamu harus sudah berhenti hamil. Jadi sejak umur 20 tahun itu kamu sudah merencanakan akan punya anak berapa dengan jarak berapa, sehingga ada jeda beberapa tahun untuk rahim kamu istirahat.”

            “Jadi, tujuan pernikahan itu cuma punya anak ya?”

            Kami bertiga lalu terdiam dengan asumsi masing-masing. Walaupun bahasan soal pernikahan selalu menarik, sesungguhnya menurut saya pribadi, pernikahan adalah suatu konsep yang rumit. Di antara hubungan dua orang, di sana ada cinta, ada hubungan hukum, ada sebuah cikal bakal manusia baru, dan ada hal-hal lainnya yang tak kalah menyeramkannya. Tidak, saya tidak takut maupun membenci pernikahan. Saya hanya meragukan mengenai beberapa hal soal “dasar hukum mengenai cinta” itu sendiri. Saya bisa membayangkan kelak saya akan menikah, tapi beberapa pasal mengenai menikah sampai detik ini masih sulit saya pahami.

            Saya selalu beranggapan, pernikahan tidak sesederhana tentang memiliki keturunan. Membayangkan hidup dan hanya mencintai satu orang saja sampai mati membuat saya selalu beranggapan bahwa pernikahan sejatinya adalah sesuatu yang sakral dan suci. Maka seharusnya, menikah tidak hanya sekadar legalitas untuk seks dan sarana untuk punya anak. Menikah jauh lebih serius daripada itu.

            Bisa dimengerti sejujurnya, bahwa tujuan menikah orang-orang Indonesia sampai saat ini masih sebatas untuk penyatuan dua insan yang semula berpacaran, sehingga hubungan mereka menjadi sah di mata hukum. Sehingga bebas untuk mereka berhubungan badan tanpa takut digrebek siapa-siapa (sebab mereka bisa melempar buku nikah kepada aparat gila yang mau turut campur soal selangkangan warganya), lalu punya anak dan kelahiran anak tersebut diakui hukum. Sehingga anak tersebut bisa memiliki akta kelahiran, bersekolah dengan ‘normal’, dan melakukan hal-hal normatif lainnya sebagaimana biasanya. Namun, setelah itu, lantas apa? Berhenti di situ?

            Sejujurnya, saya lahir dari keluarga yang tidak terlalu memusingkan kelak saya akan menikah di umur berapa, atau menikah dengan siapa. Jadi secara tidak langsung, tidak pernah ada doktrin dari mereka agar saya memiliki target klise seperti orang-orang pada umumnya; lulus sekolah, lulus kuliah, kerja, menikah, meninggal. Orang tua saya selalu mengizinkan saya melakukan apapun yang saya suka, walaupun agak membatasi saya di hal-hal tertentu. Mereka tipe orang tua yang walaupun open minded tapi tetap konservatif pada aspek-aspek tertentu. Ketika sebagian perempuan lain masih struggle mengenai melanjutkan pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, orang tua saya justru menginginkan saya meneruskan pendidikan sampai saya puas sepuas-puasnya. Tapi di batas-batas tertentu, mereka menginginkan saya agar; menjaga sikap sebagai seorang perempuan, tidak tertawa terlalu keras, tidak duduk ngangkang, tidak manja, tidak berisik, tidak bikin malu, tidak berhubungan seks sebelum menikah, serta menghormati orang lain siapapun orang itu. Tapi soal pernikahan, orang tua saya tidak pernah secara gamblang mengungkapkan agar saya buru-buru menikah selain mereka mensyaratkan bahwa calon suami saya kelak haruslah orang Indonesia dan islam. Hanya sebatas itu.

            Jadi, saya sering bertanya-tanya sendiri mengenai pernikahan. Hal yang paling mendasar adalah mengenai tujuan pernikahan itu. Apakah hanya sebatas legalitas untuk seks dan memiliki keturunan? Maka menurut saya, itu hanyalah sebuah pandangan yang sangat-sangat dangkal. Kenapa orang-orang menikah? Untuk apa mereka menikah? Atau kenapa saya harus menikah? Sebab jika menikah hanya untuk itu, bagaiamana jika salah satu dari suami/istri itu tidak bisa memiliki keturunan oleh sebab tertentu? Atau bagaimana jika suami/istri memiliki penyakit kelamin yang menyebabkan mereka tidak bisa berhubungan seks? Apakah seseorang semata-mata tidak bisa menikah karena ketidakmampuan mereka mengikuti standar ideal tujuan menikah?

            Apabila menilik dari UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Tujuan pernikahan berhenti di situ. Tapi, benarkah orang-orang yang menikah, benar-benar memahami tujuan sesungguhnya mereka melakukan pernikahan?

            Baiklah, saya mengerti bahwa saya memikirkan pernikahan menjadi suatu hal yang sedemikian rumit. Tapi, menurut saya ini betulan penting. Ini tidak sekadar menyangkut mengenai perasaan dan hubungan manusia. Ini lebih serius dari sekadar berhubungan seks. Saya bisa membayangkan diri saya akan menikah suatu saat nanti, jadi saya harus bisa membayangkan tujuan saya menikahi suami saya dan menjadi istrinya.

            Sesungguhnya, hanya ada dua permasalahan besar yang dimiliki manusia. Yang pertama kelahiran, yang kedua pernikahan. Kematian tidak saya hitung sebab ketika seseorang meninggal, maka rotasi kehidupannya sudah berhenti. Perbedaan yang mendasar adalah, jika seorang manusia tidak bisa memilih apakah dia mau dilahirkan atau tidak, manusia bisa memutuskan ia akan menikah atau tidak. Menurut saya, saya tegaskan ini merupakan sepenuhnya pendapat saya, jadi Anda berhak punya pendapat lain, ketika seseorang manusia dilahirkan, sesungguhnya dia didewasakan agar menjadi seorang yang tangguh dan tahan banting. Ia menjadi seorang individu yang utuh, berjuang sendirian menghadapi segala bentuk permasalahan yang digantung Tuhan di langit-langit semesta, sebelum kelak dijatuhkan satu persatu. Tapi ketika menikah, manusia menjalani masalah tersebut bukan sebagai individu yang sendiri, melainkan sebagai seorang suami atau istri yang punya tanggungan-tanggungan tertentu.  Jadi, pernikahan sesungguhnya bukan tujuan akhir, ia adalah gerbang baru yang bermuara pada permasalahan-permasalah baru, yang aktornya bukan lagi satu orang, melainkan dua. Entah keduanya sebagai pemeran utama, atau salah satu saja.

            Ketika membayangkan pernikahan, sesungguhnya saya membayangkan pikiran saya telah kawin dengan pikiran satu orang laki-laki yang kepadanya saya berani berkomitmen penuh. Lebih dari sekadar saya hanya akan berhubungan seks dengan dia selama seumur hidup dan dia akan menjadi ayah biologis bagi anak saya. Saya membayangkan bahwa dia tidak hanya akan menjadi suami, namun juga partner, ­pilot co-pilot, kakak-adik, teman diskusi, dan lain sebagainya. Maka, mungkin saya akan menanyakan kepada calon suami saya terlebih dulu mengenai hal-hal krusial seperti : apakah akan punya anak? Bagaimana jika saya berkerja/tidak bekerja? Apakah dia akan bekerja/tidak bekerja? Bagaiaman jika saya tidak bisa punya anak? Bagaimana jika dia tidak bisa punya anak? Bagaimana cara kerja sistem keuangan yang akan kami pakai? Apakah akan membuat perjanjian pra-perkawinan? Bagaimana jika suatu hari dia/saya terbangun dan tidak merasakan cinta lagi? Bagaimana jika tiba-tiba di antara kami ada yang menyerah? Bagaimana padangannya mengenai seks? Apa boleh jika saya punya perpustakaan? Apa boleh saya memelihara kucing? Dan barangkali ratusan pertanyaan lainnya. Terlihat rumit dan menjengkelkan mungkin, tapi sesungguhnya saya ingin saya dan orang yang menikah dengan saya ini telah bersepakat mengenai hal-hal yang sekiranya penting dalam hidup kami jika kami tinggal bersama.

            Jadi, ketika saya menikah, saya harus sudah selesai dengan berbagai hal dalam hidup saya. Saya sudah mencintai diri saya sendiri, berkomitmen dengan diri saya sendiri, baru saya bisa mencintai dan bekomitmen dengan orang lain.

            Barangkali, untuk saat ini hal paling bisa dijangkau otak saya mengenai tujuan pernikahan hanyalah, saya ingin memiliki satu orang yang bisa memahami saya dan menemani saya sampai saya meninggal. Sebagai seorang yang bisa merangkap banyak definisi soal peran-peran yang penting untuk saya. Saya membayangkan hidup bersama satu orang, menghabiskan hari tua yang bahagia, dan meninggal dengan bahagia pula. Mungkin, tak kalah dangkalnya dengan orang yang orang yang menikah dengan tujuan seks atau punya anak, tapi itu pendapat saya, dan tentu saja bukan hak saya melarang Anda untuk setuju.

            Mengenai punya anak, sejujurnya saya belum pernah memikirkannya dengan serius. Membentuk paradigma-paradigma atau benar-benar menyusun hipotesa mengenai menciptakan manusia. Pasti lebih kompleks lagi sebab melahirkan dan membesarkan seorang individu baru akan membawa kita pada tanggung jawab besar.

            Tapi, ya sudah. Urusan Anda akan menikah umur berapa, atau apa tujuan Anda melakukan pernikahan itu. Sejujurnya saya juga tidak berusaha untuk mengampanyekan apa-apa. Hanya, ketika menikah, pastikan bahwa pernikahan tersebut adalah sebuah pilihan yang memang tepat. Sebab, seperti yang telah saya jabarkan tadi, pernikahan menurut saya adalah tentang menyerahan diri secara penuh untuk dihadapkan pada masalah-masalah baru. Jadi, pastikan bahwa Anda memilih partner yang tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, dengan cara yang sehat dan menyenangkan.

            Saya dan dua teman saya, masih tenggelam dalam pikiran masing-masing memikirkan soal pernikahan yang semula hanya dibahas secara random tiba-tiba saja menjelma menjadi sesuatu yang harus dipikirkan mendalam. Kami kemudian pulang, meninggalkan bangku taman di pusat kota yang kembali ramai ketika hujan sedikit reda, tanpa menanggalkan segala teka-teki soal pernikahan yang masih riuh di kepala.

            Untuk apa, ya, menikah?

            Selamat malam.

Komentar

What's most