Matisama
Ada hal yang entah kenapa selalu
sama di setiap kota yang aku kunjungi. Suatu aroma yang asing—wewangian
kerinduan yang selalu menyatu bersama udara begitu tubuh habis menempuh
perjalan berjam-jam ini keluar dari travel.
Bau itu tak pernah jauh-jauh dari dia.
Dari sebuah nama yang seharusnya sudah lama lenyap, bungkam dari semua suara
yang menyebut diri mereka kenangan. Seharusnya sudah lama dia kulupakan. Sejak
bertahun-tahun yang lalu, sejak dia memutuskan menikah dan membiarkanku patah
hati bersama cinta yang entah sejak kapan kurasakan sendiri.
“Mas, tapi, dia menghalalkanku.
Meskipun aku tidak pernah minta.”
Lucunya kau, Lastri. Dia
menghalalkanmu? Memangnya sejak kapan kau haram?
“Kirik!
Dia jelas haram bagimu! Sekarang dan sampai kapanpun!”
Coba kau balik keadaan, Hamid,
handai taulanku. Andai dia mau menungguku sedikit lama, barangkali dia tak akan
kehilangan aku.
Dan aku tak akan kehilangan akal.
“Goblok kok dipelihara! Kebomu kui pelihara!” ucapan ibuku juga, yang
terdengar menyedihkan. Pertama, aku memang goblok. Kedua, aku tak punya kerbau
yang bisa kupelihara.
Saat kau, Lastri, memutuskan untuk
menerima pinangannya, aku akan menjelaskan perasaanku waktu itu padamu. Aku
sedang membaca koran di teras rumah kontrakanku saat tiba-tiba aku mendapat
sebuah pesan singkat yang isinya begini :
Aku
harus menikah.
Dan, aku butuh waktu lama untuk
menyadari bahwa paru-paruku butuh udara setelah aku menahan napas. Aku lantas
menampar diriku, dua puluh enam kali kalau tidak salah, sebelum seratus persen
sadar aku tidak tengah bermimpi atau berhalusinasi. Iya, Lastri, aku separah
itu menerima kabar pernikahanmu. Aku hampir mati, hampir menembak diri sendiri
seandainya aku punya revolver. Sialnya, yang kupunya cuma cinta. Aku lantas
diam bermenit-menit sebelum memutuskan untuk membakar koranku.
Kenapa koran?
Sebab aku tak dapat undangan. Maka,
karena kukira koran sama dengan undangan—yang mana sama-sama memberiku kabar
perihal sesuatu yang tak ingin kudengar—aku membuatnya menggantikan undangan.
Lastri, aku barangkali memang tak
segera pulang untuk memastikan berita pernikahanmu, tapi aku lari ke berbagai
kota untuk menyembuhkan diri. Aku pergi mencari gudeg terenak di Pekalongan,
mencari pempek yang paling dahsyat di Jogjakarta, mengunjungi Solo untuk
mencari nasi padang yang digemari di sana, dan melakukan hal-hal tak masuk akal
lainnya untuk menetralkan otakku menerima kabar pernikahanmu.
Bertahun-tahun lamanya, Lastri! Aku
sekarat sambil menyembuhkan diri! Tanganku bau rivanol, tapi toh lukaku tak
kunjung bersih dan tetap sama sampai dua puluh tahun kemudian. Dan aku belum
sembuh. Habis-habisan aku berusaha menjalani hidup, serabutan dan tak punya
tujuan. Kuliahku lulus, tapi nilaiku menjijikan dan aku tak bisa jadi arsitek
seperti yang diinginkan ibuku gara-gara kamu, Lastri. Aku kacau balau!
Lantas, orang-orang mulai mengataiku
sinting, goblok, tolol, kirik, bajingan, dan lain-lain hanya karena
ketidakmampuanku mengendalikan cinta. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa,
orang-orang jahat yang sok paling tahu soal cinta. Ah, Lastri! Aku ingin kau
membantuku membersihkan namaku, bahwa aku yang seperti ini disebabkan olehmu.
Bahwa aku yang kering perasaan ini karenamu.
Si Sialan Hamid bahkan menawariku
pelacur entah berapa kali. Dari yang baru masuk SMP sampai yang sudah klawir-klawir kulitnya. Dan entah berapa
kali juga jawaban, “Nggak doyan lonte!”-ku dibalas oleh ludahan Hamid dan
kata-kata ini ; “Bujang impoten!”
Lastri, aku butuh waktu begitu lama
untuk legowo melihatmu bahagia.
Dan .... di sinilah aku sekarang. Di
kota ini, tempatmu, Lastri, dan dia memutuskan menetap—kampungku. Tempat yang
kupikir bisa jadi rumahku pulang, tempat yang kupikir akan selalu kurindukan;
nyatanya jadi tempat yang kubenci setengah mati. Yang rasanya ingin kubakar
habis, ingin kubumi hanguskan, ingin kucoret dari peta, ingin kusingkirkan dari
Indonesia. Tempat di mana aku ingin menjadi monster yang ditakuti di sana.
Mungkin kini akulah monster itu,
Lastri, setidaknya bagimu.
“Mas, maafkan aku.”
Lastri, seandainya semudah itu
memaafkan cinta, atau semudah itu cinta memaafkan, mungkin aku tidak akan
merasakan emosi yang begitu menyeramkan ini di perutku. Keinginan yang tumpah
ruah. Ah, Lastri, melihat wajahmu membuatku ingin muntah.
“Mas, sudah nyaris dua puluh tahun,
mengapa kau masih tak mau memaafkan aku?”
Saat itu, baru sehari lamanya aku
menginjakkan kaki di kampung jahannam itu. Aku duduk di lincak sambil melihat burung-burung yang terbang beralaskan padi
yang mulai menguning. Ya, Lastri, aku berdiri di depanku dan lantas menutupi
pandanganku akan satu-satunya hal yang masih bisa aku cintai dari kampung ini.
Kau melenyapkan semuanya, Lastri.
Kau merebut segalanya.
“Mas, di tubuh kita mengalir darah
yang sama, kenapa hanya gara-gara cinta kau memperlakukan seperti ini?”
Karena gara-gara cinta juga kau
memperlakukanku seperti ini, Lastri.
“Mas! Dia bahkan sudah mati
sekarang! Aku sudah jadi janda, Mas!”
Aku terkejut mendengar ucapanmu,
Lastri. Aku menoleh cepat lantas meraih bahumu, mengabaikan air matamu. “Apa
katamu?”
“Dia sudah meninggal setahun yang
lalu!”
“Apa katamu?”
“Suamiku sudah meninggal, Mas! Apa
aku kurang keras?! Harus aku teriak di kupingmu yang bebal itu?”
“Bohong kau!”
“Ayo ke kuburannya, sekalian gali kalau
perlu! Kubur sisan cintamu yang haram
itu!”
Tubuhku bergetar. Aku sama sekali
tidak tahu kabar ini. Saat tadi pagi aku sampai di kampung ini, aku langsung
menuju rumah ibu yang kini sudah kosong. Aku bahkan mengabaikan sapaan para
tetangga yang masih mengingatku—yang mana aku yakin yang ada di kepala mereka
hanya berita sampah soalku yang seharusnya segera dibuang sebelum sempat
dipakai.
Apa yang terjadi? Apa yang terjadi
padanya?
“Mas ....”
“Diam!”
Dia ... meninggal? Dia—pria yang begitu
kucintai ... meninggal?
“Mas ....”
“DIAM, LASTRI! DIAM!”
Lastri menangis histeris dan aku
terus diam menahan emosi. Aku bergeming
sementara Lastri masih sesenggukan. Banyak hal yang ingin kutanyakan pada
adikku yang kini berlutut di depanku, tapi aku masih membencinya. Aku masih
sangat mencintainya mengingat kami mencintai pria yang sama tapi hanya dia yang
berhasil memiliki pria itu. Membuatku merasa jijik sekaligus kecewa pada diriku
sendiri.
“Maafkan aku, Mas, tapi sekalipun
aku tidak menikah dengannya, tidak akan ada yang bisa Mas lakukan untuk
memilikinya. Mas, berhentilah membenciku dan membiarkan diri Mas dibenci Allah.”
Aku menaikkan kedua kakiku ke lincak dan membenamkan kepalaku di sana.
Tidak kurasakan Lastri pergi, dan aku juga tidak berniatan menyuruhnya
meninggalkanku. Aku meneteskan air mata.
“Mas Pijar, kau satu-satunya saudara
yang masih aku punya. Aku sendirian, Mas. Ibu dan Bapak sudah pergi, suamiku
pun—“
“Lastri ...” aku berbicara tanpa
mengangkat kepalaku. “Di mana nisannya?”
---
Ramones. 18–01–1974 – 28–02–2017
Aku menatap nisannya nanar. Seolah-olah
menatap kematianku sendiri. Dendam dan cinta itu naik ke permukaan begitu aku
tahu bahwa sosok yang memporak-porandakan hidupku kini bahkan tidak mampu
bangkit untuk menyentuh hidupku lagi. Aku meneteskan air mata.
“Dia kena stroke, Mas. Mas Ramon
sudah berjuang selama dua tahun terakhir hidupnya.”
Aku berlutut dan menyentuh nisannya.
Merasakan dadaku bergetar hebat, dirajam-rajam rasa sakit. Rasanya seperti aku
yang mati. Rasanya seperti aku bisa merasakan seluruh kesakitannya selama dua
tahun terakhir. Rasanya seperti aku—
Rasanya
seperti aku yang mati.
Lastri kini ikut berlutut juga. Saat
dia menyentuh bahuku, aku tidak berusaha menolaknya. Sebab aku sangat memahami
perasaannya kini. Aku dan adikku kehilangan orang yang sama, setidaknya hal itu
membuat perasaanku sedikit lunak.
“Maafkan aku, Mas.”
Aku menatap nisannya lagi. Kali ini
lebih dalam dan lebih lama.
Ada hal yang entah kenapa selalu
sama di setiap kota yang aku kunjungi. Suatu aroma yang asing—wewangian
kerinduan yang selalu menyatu bersama udara begitu tubuh habis menempuh
perjalan berjam-jam ini keluar dari travel.
Bau itu tak pernah jauh-jauh dari dia.
Seseorang
yang kini telah meninggalkan aku dan di dunia. Seseorang yang aku cintai
bertahun-tahun lamanya. Seseorang yang ketika kini bisa kutemui lagi, harus
segera aku relakan kepergiannya.
Bau
itu beraroma rasa sakit, kepedihan, dan sebuah cinta yang menjadi kesalahan
seumur hidupku.
Sampai detik ketika aku hanya bisa
memeluk nisannya, ada hal yang selalu sama.
Sama.
Cerita 18+ dong
BalasHapusDasar perempuan! Hubungan sesama lelaki seperti magnet tersendiri, seperti hiburan sendiri!
BalasHapus