2017 : A Year of Depression for Those People

            Everybody has their own problem. Everybody has their own fear.

            Saya memiliki banyak teman yang membuka diri mereka cukup dalam pada saya. Membuka masalah dan rasa sakit yang mereka rasakan. Barangkali, saya bisa berkata seperti ini pada mereka : “Calm, I’ll be there for you.” Dan barangkali lagi, saya memang bisa terus ada untuk mereka saat sedang jatuh, sedih, maupun sepi.

            But the truth is, we are all alone.

            Saya tidak bisa menyangkal hal ini. Mau seberapa banyak apapun teman kalian, mau sedekat apapun kalian dengan keluarga, mau secinta apapun kalian dengan kekasih, kalian hanya manusia yang sendirian. Memiliki satu tubuh, satu ruh, satu perasaan, satu otak, satu kehidupan, dan kalian sepenuhnya yang mengendalikannya.

            You—we, are all alone.

            Tulisan ini barangkali akan jadi esai paling skeptis yang pernah saya tulis—barangkali sepanjang hidup saya. Kalian sendiri tahu, sudah dua bulan saya tidak memposting apapun. Itu karena, selama dua bulan belakang, saya banyak mencari sesuatu tentang diri saya sendiri, teman-teman saya, maupun dunia yang tengah saya tinggali.

            Esai ini akan terlihat seperti pesan bunuh diri, tapi tidak. Saya tidak akan melakukannya. Saya hanya akan ... bercerita, seperti biasanya.

            Dua bulan ini, banyak sekali yang terjadi. Berurutan, bertubi-tubi. Pelan-pelan tapi sekaligus. Dan saya diajak bercanda oleh Tuhan dengan dipaksa untuk menerima semuanya. Tidak semua milik saya, tapi hampir di setiap peristiwa, saya terlibat.

            Peristiwa-perisstiwa itu tidak akan mampu saya tulis satu persatu. Kenapa? Saya masih sangat kelelahan. Saya baru saja sembuh setelah semua yang terjadi, baik yang secara langsung menimpa saya, maupun yang hanya melibatkan saya. Saya baru bisa menulis lagi setelah masa perawatan mental yang cukup lama dan emosional.

            Hebatnya, selama dua bulan belakangan, saya hanya menangis selama empat kali. Bagi saya yang cukup cengeng, itu adalah sebuah prestasi mengingat beberapa peristiwa yang terjadi sangat menghancurkan saya dari berbagai aspek. Dan saya bersyukur masih diberi kekuatan yang lebih untuk menerima dan memaafkan. Toh, dilihat dari sisi manapun, saya bukan korban. Saya hanya kebetulan tersakiti paling dalam dan bukan salah mereka jika saya mau-mau saya disakiti hanya untuk mengejar satu kata yang saya kira ada pada mereka maupun lingkungan saya saat ini :

            Bahagia.

            Setelah dua bulan ini, kata itu menjadi begitu rancu. Saya melihat sendiri, di lingkungan saya, banyak yang jatuh bangun, mati dan kemudian hidup lagi di keesokan harinya, hanya untuk mencari tahu apakah ada bahagia itu di satu waktu yang mereka miliki. Orang-orang terlalu penasaran—atau barangkali naif—untuk menerima bahwa bahagia ada bukan untuk dikejar, melainkan diciptakan.

            Katakanlah saya klise, tapi begitulah yang terjadi. Saya sudah mengalami dan mendengar begitu banyak rasa sakit dari beragam jenis manusia. Dari yang bercerita sambil tersenyum getir, tertawa menyedihkan, menangis lirih, sesenggukan, menangis keras, mengumpat, berbisik, berteriak, bahkan yang diam saja. Saya sudah banyak menemui yang seperti itu. Tapi saya tidak muak. Saya belajar banyak.

            Merekapun dari berbagai jenis usia, berbagai jenis profesi, berbagai jenis orientasi seksual, berbagai jenis masalah, berbagai jenis ketakutan, dan berbagai jenis rasa sakit. Nyaris tidak ada yang sama. Tapi, hampir semua dari mereka yang merasa sakit berpikiran seperti ini : kenapa saya tidak bahagia?

            Jawabannya adalah, karena kalian tidak bahagia. Itu saja. Bukan karena Tuhan menghukum kalian, atau kalian banyak dosa, atau apapun yang pernah muncul di otak kalian. Dunia semacam ini bukan tempat yang tepat untuk mengeluh. Mereka hanya akan menyalahkan kalian, mencibir kalian, menganggap kalian payah, mengatai kalian kurang bersyukur. Jika kalian beruntung, mungkin kalian akan menemukan orang yang simpati, sisanya hanya  penasaran, atau bahkan hanya mau mendengar cerita kalian karena mereka akan menjadikan itu bahan cerita. Dunia yang kita tinggali memang semacam ini, bukan? Welcome to reality.

            Saya yakin kalian sangat menyadari bahwa dunia diisi oleh orang-orang semacam ini. Makanya, banyak orang yang tidak membiarkan diri mereka bersedih. Banyak di antara kalian yang menyimpan rasa sakit kalian untuk diri kalian sendiri. Membiarkan perasaan itu menggerogoti hati kalian, memakan kekuatan mental kalian, yang berimbas pada rasa sakit fisik. Sebab kalian tahu pasti betapa kejamnya dunia ini. Kalian mengerti, itulah mengapa kalian tidak berbuat banyak.

            Padahal, it’s ok to be sad for a while. Sebab hidup yang seimbang bukan ketika kesedihan maupun kebahagiaan lebih banyak, melainkan ketika keduanya seimbang. Sangat tolol jika kalian sedih untuk sesuatu yang lama dan sangat sombong jika kalian merasa paling bahagia sedunia.

            Tapi, poin utama tulisan ini bukan di situ.

            Sebelumnya, saya akan menyampaikan bahwa tulisan ini secara tidak langsung saya persembahkan untuk mereka semua yang telah membagi cerita kepada saya selama 2017 ini. Terima kasih telah memercayai saya dan telah mengizinkan saya untuk mencegah kalian ... bunuh diri.

            Saya tahu untuk orang-orang yang bersedih—atau merasa diri mereka menyedihkan—mati dan hidup terasa nyaris tak ada bedanya. Saya paham perasaan sialan itu sangat memicu kalian untuk memilih mati sebab mati terlihat seperti semua urusan akan selesai dan kalian akan baik-baik saja. Saya mengerti dan saya tidak akan menyalahkan kalian. Tapi, saya akan menyalahkan kalian jika kalian yang bersedih tidak berusaha untuk bangkit berdiri dan menyelesaikan semuanya. Saya akan menyalahkan kalian yang tidak berjuang sedikitpun.

            Sebab seperti yang telah saya katakan, kita sendirian. Berusahalah dengan kekuatan kalian sendiri. Tapi, beberapa orang yang menyadari arti perjuangan ini justru beranggapan bahwa berjuang berarti terus berlari sampai akhir. Padahal, kalian akan sangat kelelahan. Kalian akan merasa kalah oleh diri kalian sendiri. Ya, kalau kalian bisa sampai akhir dengan selamat, itupun sangat beresiko. Kalau kalian justru mati di tengah jalan sebelum sempat merasakan apapun, bagaimana?

            Saya juga bukan orang yang akan memanjakan teman-teman saya. Sebab, saya ingat kata-kata yang sering dikatakan Ayah saya : “Put, belajarlah berjuang.” Dan saya menjadikan itu pedoman hidup. Sebab, di dunia yang seperti medan ranjau ini, tidak berjuang berarti cari mati. Saya pernah membahas ini di salah satu tulisan saya. Itulah mengapa, selepas mereka bercerita, saya tidak akan memberi mereka saran untuk dilakukan, melainkan memberikan mereka pilihan. Saya menjelaskan kepada mereka untuk memandang sesuatu dari sudut pandang yang lain. Karena, orang-orang yang bersedih adalah orang-orang yang merasa tidak memiliki celah untuk menemukan kebahagiaan yang dulu mereka kira paten untuk mereka.

            Dan, dapat disimpulkan, dari beragam jenis manusia yang dari tadi saya jabarkan, sesungguhnya keduanya dapat digabungkan ke dalam dua kelompok yang dominan. Yang pertama adalah orang yang berjuang secara terus menerus tanpa kenal istirahat, dan yang kedua adalah orang yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya berjuang.

            Jadi, bagaimana cara menghadapi mereka? Pahamilah perasaan mereka. Berpikirlah dari sudut pandang mereka versi lebih rasional. Pada dasarnya, dua jenis mereka ini sama saja. Mereka butuh seseorang yang bisa membobol sikap tidak sehat yang mereka kira benar. Jika kalian merasa menemui orang-orang yang sedang sedih maupun depresi, masukilah mereka pelan-pelan.

            Lantas, kenapa tadi saya bilang esai ini adalah esai paling skeptis yang pernah saya tulis dalam hidup saya?

            Karena, saya sendiri tidak yakin ada seseorang yang cukup malaikat untuk mempedulikan sesamanya sampai sedetail ini. Beberapa dari mereka merasa mereka juga memiliki masalah sendiri. Jadi, ya, tetap saja pada akhirnya orang-orang akan kehilangan kendali atas diri mereka. Mereka akan menjadi skeptis satu sama lain. Dan akhirnya, kita sendiri memahami mengapa dunia yang kita tinggali seperti ini. Karena diri kita sendiri.

            Jadi, Putri, apa tujuan dari tulisan ini?

            Secara teknis, tidak ada. Saya hanya ingin berbagi cerita dan ternyata topik ini cukup emosional untuk saya karena saya harus mengingat semua yang telah terjadi. Saya jadi kelelahan.

            Tapi, saya memiliki sedikit pesan. Dan saya berharap semoga pesan ini sampai kepada mereka yang tengah sedih maupun depresi, baik yang berjuang habis-habisan maupun mereka yang stagnan dan telah menyerah pada keadaan.

            Teman-teman, bagi kalian yang merasa sedang sedih, depresi, maupun merasa ingin bunuh diri, tolong : berjuanglah. Berjuanglah sesuai kemampuan kalian dan jangan memaksakan diri, tapi juga jangan malas dan langsung menyerah. Percayalah pada Tuhan. Yakinlah pada kaki kalian sendiri. Dan juga, rasionallah, tapi bawa serta hati nuranimu. Percayalah bahwa setelah kesedihan dan rasa sakit yang begitu panjang, kebahagiaan yang kalian cari itu justru harus kalian ciptakan sendiri. Bernapaslah. Inhale, exhale. Terus menerus sampai diri kalian lega. Sampai kalian mampu memaafkan diri kalian sendiri. Sampai kalian cukup yakin bahwa diri kalian baik-baik saja. Berpikiran positiflah.


            After all, go find yourself again. Build the happy you again. Bahkan, kalian bisa belajar menerima lewat putus asa.

            Tulisan ini ditujukan untuk orang-orang yang tidak lagi mampu mempercayai orang lain lagi untuk membagi ceritanya. Tapi, jika kalian memiliki seseorang yang mampu kalian percaya, berceritalah, tidak apa-apa. Dengarkan juga saran dari mereka, tapi keputusan tetap di tangan kalian. Bijaksanalah.

            Sebab ujung-ujungnya toh, kita yang berjuang sendirian.


            Be happy.

Komentar

What's most